Urgensi Penguatan Instrumen Perlindungan Hukum Konsumen di Era Digital

Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini mendorong lahirnya berbagai macam produk barang dan pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen. Hal ini membutuhkan ekosistem perlindungan hukum yang memadai dan mendukung perlindungan konsumen seiring dengan perkembangan teknologi.

Kompleksitas permasalahan yang muncul antara konsumen dan pengusaha merupakan hal yang kerap kali muncul saat ini. Hal ini terlihat dari kondisi seperti minimnya informasi, kebebasan memilih barang, dan banyak lainnya. Di sisi lain, kondisi yang berbeda terlihat ketika produsen yang tidak menghargai hak-hak konsumen, padahal produsen memiliki kewajiban untuk memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk dikonsumsi serta mengikuti standar (Watuseke, 2019).

Kompleksitas itu juga menyasar pada kondisi digital yang menunjukkan adanya potensi konsumen yang dirugikan karena posisi konsumen yang lemah. Beberapa hal, seperti kondisi bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia belum memadai dan kurang menjamin adanya suatu kepastian hukum, ditambah dengan tingkat pengetahuan dan pendidikan konsumen yang masih sangat rendah. Maka, wajar jika penguatan ekosistem ekonomi digital yang sedang berkembang saat ini harus diimbangi dengan penguatan aspek penguatan hukum dan literasi digital secara bersama-sama.

Indonesia melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan penjelasan akan hak konsumen terhadap kepastian hukum. Selain itu, UU ini juga mendorong dunia usaha untuk menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas. Aspek-aspek tersebut merupakan keniscayaan yang harus diwujudkan. Hal ini tidak lain supaya tidak menyebabkan kerugian yang berdampak pada konsumen. Adanya UU ini, maka muncul perspektif isu konsumen yang meningkatkan harkat dan martabat konsumen melalui kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab.

Meskipun demikian, UUPK yang ada saat ini tidak cukup untuk memfasilitasi tantangan perlindungan hukum atas hak konsumen yang harus dijamin, khususnya dalam perkembangan ekonomi digital yang ada. Hal ini mengingat terminologi dan karakter ekonomi digital belum terpayungi dalam undang-undang tersebut. Beberapa contoh, seperti munculnya e-commerce, data pribadi, sengketa daring, dan banyak aspek lainnya memerlukan payung hukum yang lebih memadai untuk memastikan terlindunginya kebebasan sipil dan ekonomi di ruang digital tersebut.

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus melakukan penataan ulang regulasi yang ada, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di mana hal ini perlu direvisi atau diamandemen karena belum menyesuaikan diri dengan perubahan, tantangan, risiko yang timbul dari transformasi digital yang memiliki karakter yang berbeda. Hal ini bisa berjalan dengan baik dengan melibatkan pelaku usaha dan konsumen untuk memberikan masukan-masukan terhadap kebutuhan akan perlindungan atas hak-hak konsumen dalam ekosistem digital yang berkembang saat ini.

 

Galang Taufani

Peneliti Bidang Hukum

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

galang@theindonesianinstitute.com

Komentar