Pada hari Rabu, 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif untuk barang-barang impor dari negara-negara dunia, termasuk Indonesia. Di ”Hari Pembebasan” (”Liberation Day”), istilah Trump untuk hari ditentukannya kenaikan tarif ini, beberapa negara di kawasan Asia dikenakan tarif impor lebih dari 40%, seperti Kamboja (49%), Laos (48%), Vietnam (46%), Sri Lanka dan Myanmar (44%). Indonesia pun dikenakan tarif sebesar 32%, sedangkan Tiongkok dijatuhi tarif sebesar 34%.
Menurut Harithas et al. (3 April 2025), ada dua alasan di balik kenaikan tarif oleh Trump. Pertama, menurut pemikiran pemerintahan Trump, kenaikan tarif diperlukan untuk mengoreksi pasar AS yang terbuka selama beberapa dekade yang dihadapkan dengan tarif luar negeri yang asimetris dan hambatan-hambatan yang membatasi produk AS. Kedua, alasan ini lebih bersifat transaksional, di mana tarif merupakan mekanisme peningkatan pendapatan untuk membantu membiayai pemotongan pajak besar-besaran yang diharapkan akan diumumkan oleh pemerintahan Trump sebelum akhir tahun 2025.
Per tulisan ini dibuat, ada beberapa update menarik terkait kenaikan tarif Trump dan imbasnya. Pertama, tarif ditangguhkan sementara dengan jangka waktu 90 hari untuk negara-negara yang dikenakan tarif, kecuali Cina (Perintah Eksekutif (Executive Orders) Gedung Putih, 9 April 2025). Kedua, Cina kemudian melakukan retaliasi tarif impor barang-barang AS sebesar 84% yang kemudian meningkat ke 125% (The International Trade Administration, U.S. Department of Commerce, akses 21 April 2025). Ketiga, AS kembali menjatuhi nilai tarif yang fantastis bagi Cina dengan nilai sebesar 245%, yang di dalamnya termasuk 125% tarif balasan ke Cina, 20% tarif untuk mengatasi krisis fentanil, dan 7,5%-100% tarif Section 301 untuk barang-barang tertentu berdasarkan ”Fact Sheets” dari Gedung Putih (15 April 2025).
Keempat, Indonesia pun merupakan salah satu negara yang bernegosiasi dengan AS untuk kenaikan tarif ini. Berdasarkan info dari CNBC Indonesia (20 April 2025), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah bertemu dengan United States Trade Representative (USTR) yang dipimpin oleh Ambassador Jamieson L. Greer. Pertemuan tersebut sepakat untuk segera intensif membahas proses negosiasi dan menyiapkan kerangka kerja sama dengan target penyelesaian proses dalam 60 hari ke depan. Tim Teknis Indonesia pun telah diundang oleh Tim Teknis USTR untuk mulai membahas isu pokok yang menjadi perhatian Indonesia dan AS.
Masih dilansir dari sumber yang sama, isu yang didalami dan diminta oleh Indonesia untuk dikaji bersama mencakup penyelesaian berbagai hambatan non-tarif antara lain perizinan impor, digital trade dan Customs Duties on Electronic Transmissions (CDET), pre-shipment inspections dan kewajiban surveyor, local content untuk industri, implementasi tarif resiprokal, tarif sektoral dan tarif dasar, dan isu akses pasar.
Adapun Tim Teknis Indonesia melibatkan kerja sama kementerian/lembaga yang berkaitan dengan kebijakan perdagangan yang terdiri dari Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi dan Investasi (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian), Direktur Jenderal Amerika dan Eropa (Kementerian Luar Negeri), Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Kementerian Perdagangan), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (Kementerian Keuangan), Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan Kuasa Usaha Ad-Interim Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington DC (CNBC Indonesia, 20 April 2025).
Lalu, Indonesia Harus Bagaimana?
Di tengah kondisi tarif menarik antara AS dan Cina, Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak langsung dan tidak langsung dari ’Perang Dagang Jilid 2’ ini. Tulisan ini pun mengapreasiasi sebesar-besarnya atas usaha pemerintah Indonesia yang dikoordinir Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian beserta jajaran kementerian/lembaga terkait, baik itu Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, Dewan Ekonomi Nasional, dan juga KBRI Indonesia di AS di dalam bergerak cepat dalam negosiasi dengan mengutamakan diplomasi ekonomi demi kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Walaupun demikian, ada beberapa langkah penting yang dapat pemerintah lakukan di tengah AS dan Cina yang seolah-olah sedang mempermainkan ’tag’ (menandai). Pertama, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan harus dapat mengurangi ketergantungan ekspor Indonesia ke AS dan mulai fokus mendiversifikasi ke pasar non-tradisional yang potensial, terutama ke negara BRICS karena Indonesia sudah menjadi salah satu anggota. Indonesia memiliki beragam produk, seperti produk halal, yang dapat menjadi andalan ekspor. Pemerintah pun harus dapat mendorong produk halal Indonesia agar berdaya saing dan bernilai tambah lebih tinggi melalui pendampingan kewirausahaan, akses pendanaan, penyederhanaan regulasi, peningkatan kapasitas, dan pembangunan lingkungan bisnis yang kondusif dan aman.
Kedua, di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global dan kebijakan ekonomi Trump yang cepat berubah, pemerintah di seluruh elemen kementerian/lembaga sampai ke elemen pemerintahan desa harus dapat memperkuat ekonomi domestik berdasarkan kearifan lokal yang ada dengan memperbaiki dan mendorong peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini tidak hanya mengurangi ketergantungan impor daerah, tetapi juga meningkatkan konsumsi daerah dan memperkuat ekonomi dan kesejahteraan warga lokal.
Terakhir, upaya yang tidak kalah penting adalah meningkatkan daya saing sumber daya manusia. Ekonomi Indonesia mayoritas ditopang oleh UMKM. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM harus mendorong pendidikan vokasi, pelatihan kerja berbasis kebutuhan industri, membuka lapangan kerja yang menyesuaikan link and match, serta mendorong digitalisasi UMKM dan sumber daya manusianya.
Akibat Perang Dagang Jilid 2 ini, tidak ada yang bisa mengetahui bagaimana kondisi ekonomi dunia ke depan, termasuk ekonomi Indonesia. Namun, sebagaimana sejarah memperlihatkan, UMKM Indonesia adalah penopang dan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia di masa krisis. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar serius dalam mendorong dan menaikkan kelas UMKM demi masa depan Indonesia yang maju dan berdaya saing.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
email: putu@theindonesianinstitute.com