Isu penodaan agama kembali menjadi perhatian masyarakat di Indonesia. Hal itu dipicu oleh potongan video Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang mengutip Surat Al Maidah Ayat 51 pada saat melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Video tersebut viral di media sosial dan pada akhirnya mengundang respon publik yang besar, khususnya umat Islam di Indonesia.
Sejumlah pihak menilai ucapan Ahok dalam potongan video tersebut telah menistakan ajaran Agama Islam. Namun di sisi lain, Ahok menganggap ucapannya tersebut merupakan respon terhadap sejumlah pihak yang menggunakan ayat suci untuk kepentingan politiknya dengan tujuan menolak Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 mendatang.
Terhadap tuduhan melecehkan Agama Islam, Ahok kemudian meminta maaf kepada umat Islam atas ucapannya. Hal itu disampaikan Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Senin 10 Oktober 2016. Namun sejumlah pihak tidak memaafkan Ahok dan tetap ingin membawa kasus tersebut ke dalam ranah hukum (Kompas.com, 10/10/16).
Selama ini ada beberapa kasus penodaan agama yang berujung di ranah hukum, beberapa diantaranya: (1) Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar); (2) penistaan agama oleh Arswendo Atmowiloto melalui Tabloid Monitor; (3) penistaan agama oleh Nando Irwansyah M’ali terhadap Agama Hindu (4) penistaan Agama Hindu oleh Rusgiani; (5) penistaan agama terhadap Agama Kristen oleh Heidi Euginie; (6) penistaan Agama Islam oleh Ki Panji Kusmin pada 1968, (www.republika.co.id, 18/10/16).
Secara yuridis penodaan agama merupakan bagian dari delik agama yang memang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Pengaturan tersebut ditujukan untuk menjamin agar negara Indonesia yang multi agama, multi etnik, dan multi ras dapat terhindar dari hal-hal memecah belah, salah satunya konflik-konflik antar umat beragama.
Di dalam KUHP sebetulnya tidak ada bab khusus yang mengatur delik agama. Namun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama sendiri mengandung beberapa pengertian meliputi: (a) delik menurut agama; (b) delik terhadap agama; (c) delik yang berhubungan dengan agama.
Adami Chazawi, seorang pakar hukum pidana, mengemukakan mengenai kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan agama ini dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu: (1) penghinaan terhadap agama tertentu yang ada di Indonesia (Pasal 156a); (2) penghinaan terhadap petugas agama yang menjalankan tugasnya (Pasal 177 angka 1); (3) penghinaan mengenai benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 angka 2); (4) menimbulkan gaduh di dekat tempat ibadah yang sedang digunakan beribadah (Pasal 503), (Adami H. Cahzawi:2009, Randy A. Adare:2013).
Pasal yang selama ini sering disebut sebagai pasal penodaan agama adalah Pasal 156a KUHP. Perlu diketahui bahwa sebenarnya Pasal 156a KUHP ini tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan bersumber dari Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Penpres No.1/1965).
Penpres No.1/1965 dalam Pasal 4 menyatakan “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendi ke–Tuhanan Yang Maha Esa.”
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro kontra. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok agama di Indonesia sendiri mempunyai aspirasi yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan, bahkan di dalam internal kelompok agama sendiri.
Menurut Rusli Muhammad, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan ‘mengamankan’ agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi ‘kebenaran’ karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarkan tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.
Dalam hubungannya dengan kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, harapannya hukum dapat bekerja secara profesional dan proporsional. Meskipun semestinya perkara menyangkut Ahok ini bisa saja selesai apabila permintaan maaf Ahok diterima dengan catatan tidak diulangi lagi. Namun yang terjadi adalah sebagian pihak memaafkan, sementara pihak lain tidak. Sehingga mau tidak mau kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok ini bisa saja dibawa keranah hukum oleh pihak-pihak yang tidak mau memaafkan.
Persoalannya sekarang, dalam praktek peradilan terkait dengan delik penodaan terhadap agama yang sering menjadi kesulitan adalah istilah penodaan terhadap agama sesungguhnya sangat abstrak. Dalam praktiknya pasal tentang penodaan agama menjadi pasal yang sangat lentur yang bisa dipahami secara sepihak. Oleh karena itu dalam pembuktian kasus penodaan agama harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan aspek kepastian hukum bagi masyarakat.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com