
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Belum lama ini temperatur politik Indonesia kembali meningkat dengan adanya gagasan Dana Aspirasi atau secara aturan disebut dengan ‘Program Pembangunan Daerah Pemilihan’ yang kembali diusulkan oleh DPR. Besaran Dana Aspirasi yang diajukan oleh DPR ialah Rp 20 miliar untuk setiap anggotanya. Artinya apabila ini disepakati maka Negara harus menyediakan anggaran sebesar Rp 200 triliun untuk memenuhi anggaran tersebut.
Sebenarnya political idea tentang Dana Aspirasi untuk daerah pemilihan anggota DPR mengalami pergulatan sejak tahun 2011 dimana DPR periode 2009-2014 pada waktu itu menggulirkan wacana tentang perlunya Dana Aspirasi ini. Bahkan menurut catatan Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (SEKNAS FITRA 2010), Komisi XI DPR pada tahun 2010 yang merasa berjasa meningkatkan estimasi penerimaan pajak, meminta jatah uang jasanya sebesar Rp. 2 trilyun untuk dijadikan ‘sangu’ bagi daerah pemilihannya. Tuntutan ini berlanjut ketika Fraksi Golkar memberikan tanggapan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal tahun 2011 yang meminta alokasi dana pembangunan untuk daerah pemilihan sebesar Rp 15 milyar per tahun per satu anggota DPR (Republika.co.id, Juni 2010). Namun upaya DPR untuk merealisasikan Dana Aspirasi tersebut belum berhasil dan menuai banyak kritik serta penolakan dari berbagai pihak. Hingga pada tahun 2015 usulan Dana Aspirasi tersebut kembali diperjuangkan oleh DPR dan lagi-lagi usulan itu masih kental akan kritikan, penolakan dan berbagai kekhawatiran.
Meninjau kembali alasan DPR menginginkan adanya Dana Aspirasi menurut apa yang berkembang di berbagai media dapat dirumuskan kedalam 4 (empat) klausul, Pertama, DPR merasa Pemerintah tidak mungkin dapat mengakomodir seluruh aspirasi di daerah sehingga program ini akan membantu Pemerintah. Kedua, DPR sebagai representasi rakyat merasa memiliki hak untuk memperjuangkan setidaknya kesejahteraan konstituen di daerah pemilihannya. Ketiga, memperpendek jalur birokrasi mekanisme pengusulan pembangunan daerah yang selama ini prosesnya panjang dan memakan waktu. Keempat, telah mendapat payung hukum yakni melalui Pasal 80 huruf j UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) dinyatakan bahwa hak dan kewajiban anggota dewan adalah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Apabila ditinjau dari optik hukum, dapat ditelusuri secara yuridis formil di dalam konstitusi yakni Pasal 20 A ayat (1) UUD NRI 1945 dan lebih lanjut dituangkan dalam Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 17/2014 tentang MD3 bahwa DPR sebagai perwakilan rakyat memiliki 3 (tiga) fungsi utama yaitu fungsi legislasi (legislation), fungsi pengawasan (controling), dan fungsi anggaran (budgeting). Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut kepada DPR diberikan beberapa tugas dan wewenang. Misalnya dalam rangka menjalankan fungsi legislatif DPR memiliki beberapa kewenangan salah satunya dalam membentuk undang-undang, kemudian berkaitan dengan fungsi pengawasan, DPR diberikan wewenang salah satunya untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan Pemerintah. Terakhir berkaitan dengan fungsi anggaran, DPR diberi wewenang salah satunya untuk memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan Presiden. Selain itu tugas dan wewenang lain yang sangat erat kaitannya dengan DPR sebagai representation of the people ialah menyerap, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Selanjutnya dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya, kepada anggota DPR oleh undang-undang diberikan hak dan kewajiban. Salah satu hak DPR yang dijadikan landasan yuridis tuntutan Dana Aspirasi ini ialah hak untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (Pasal 80 huruf J UU 17/2014 tentang MD3). Hak tersebut jika ditelusuri secara yuridis erat kaitannya dengan kewajiban DPR yang diatur dalam Pasal 81 huruf i, huruf j, dan huruf k UU No. 17/2014 tentang MD3 yang diantaranya menyebutkan kewajiban DPR sebagai berikut: (i) menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; (j) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan (k) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Setelah mengkaji dasar hukumnya, maka dapat diketahui korelasi positif antara tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPR dalam konteks program pembangunan daerah pemilihan. Hal itu dapat diargumentasikan bahwa dalam rangka mewujudkan salah satu tugas dan wewenang DPR yaitu untuk menyerap, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat, DPR mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 huruf i, huruf j, dan huruf k tersebut di atas dan oleh sebabnya DPR diberikan hak salah satunya untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan yang berusaha diwujudkan oleh DPR.
Namun pada tataran konsep realisasinya DPR tampak belum selesai membuat blue print mengenai Dana Aspirasi ini. Sebab DPR hingga saat ini hanya berhenti pada argumentasi urgensi Dana Aspirasi tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Lukman Edy selaku Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB bahwa ada 25 alasan pentingnya Dana Aspirasi. Tapi pada akhirnya DPR belum menjawab polemik tentang (1) bagaimana meletakkan Dana Aspirasi sebesar Rp 20 milyar pertahun per anggota DPR dalam sistem APBN dan APBD yang selama ini disusun secara terpadu, bertahap dan berlanjut? (2) bagaimana agar realisasi program tersebut tidak tumpang tindih dengan program yang digulirkan oleh DPRD Provinsi misalnya? Dan (3) bagaimana akuntabilitas penggunaan Dana Aspirasi tersebut apabila pada akhirnya disepakati?
Pada periode DPR sebelumnya (2009-2014) usulan Dana Aspirasi tidak disetujui dalam APBN dikarenakan DPR belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagaimana penulis uraikan di atas. Sehingga apabila Dana Aspirasi ingin diajukan kembali maka DPR seyogyanya melakukan peninjauan kembali atau PK Dana Aspirasi, baik dari tataran kematangan konsep, mekanisme penggunaan anggaran, dan proses pertanggungjawabannya.
Pertama, perihal konsep. Harus diharmonisasi dengan upaya pemerataan pembangunan daerah. Dana Aspirasi ini bukan dana yang nantinya diberikan kepada setiap anggota DPR secara perorangan tetapi Dana Aspirasi kelembagaan yang digunakan untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat di seluruh daerah di Indonesia tentunya. Sedangkan untuk menghindari tumpang tindih antara program eksekutif dan legislatif, baik pusat maupun daerah, maka perlu adanya singkronisasi dan harmonisasi program-program di awal perancangan dan perencanaannya. Kedua, mekanisme penggunaan anggaran. Harus dibentuk mekanisme yang akuntabel dari tahap pengajuan, pencairan, penggunaan dan pertanggungjawabannya. Setiap dana yang keluar untuk program harus dipertanggungjawabkan dan yang terpenting harus transparan atau dapat diakses publik. Ketiga, proses pertanggungjawaban. Penggunaan Dana Aspirasi ini harus siap diawasi, baik oleh KPK, BPK, maupun civil society. Oleh karenanya perlu dibentuk mekanisme pengajuan dan pengaduan yang transparan dan akuntabel.
Program ini penting sebetulnya agar DPR dapat menunjukkan bukti nyata kerja, sehingga dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap wakil yang dipilihnya setiap 5 tahun sekali. Apabila publik merasakan kerja nyata dari wakil-wakil yang dipilihnya hal ini secara implisit dan perlahan akan membuka pola pikir bahwa memilih wakil-wakil rakyat dengan cerdas dan selektif serta bukan karena politik uang itu penting. Namun yang wajib dicatat ialah DPR dan pihak-pihak terkait tidak koruptif dalam menggunakan Dana Aspirasi ini. DPR sendiri harus siap berkomitmen untuk itu. Menurut penulis agar Dana Aspirasi yang memang tidak dapat disetujui pada tahun ini terhindar dari berbagai macam kecurigaan, lebih baik DPR membuktikan dulu bahwa dirinya sanggup dan berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi daerah secara maksimal misalnya dengan optimalisasi penggunaan dana reses terlebih dahulu.
Terlepas dari itu semua pekerjaan rumah DPR sebetulnya masih banyak. Perjuangan DPR untuk membangun daerah tidak hanya dapat dilakukan dari satu pintu Dana Aspirasi ini saja, tetapi masih banyak pintu lain, misalnya supervisi implementasi UU Desa, dimana tugas DPR tidak berhenti ketika UU Desa tersebut berhasil disahkan, tetapi berlanjut pada tahap pengawasan implementasinya mengingat DPR tidak hanya memiliki fungsi legislasi tetapi juga fungsi pengawasan, terlebih berkaitan dengan dana 1 milyar untuk desa. Hal ini juga bentuk upaya memperjuangkan aspirasi daerah.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com