Foto Antaranews

Pengamat Sosial Dorong Revisi Undang-undang Perkawinan

JAKARTA  – Peneliti The Indonesian Institute Umi Lutfiah mendorong revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena sudah tidak relevan seperti pasal soal usia minimal seseorang dapat melangsungkan pernikahan.

“UU ini sudah tidak relevan terutama untuk pasal 6 dan 7,” kata Peneliti Sosial TII Umi di Jakarta, Sabtu.

Dia mengatakan pasal 6 undang-undang itu menyebutkan umur minimal seseorang dapat melangsungkan pernikahan adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Di pasal yang sama bagi mereka dengan usia di bawah 21 tahun dan ingin menikah harus dengan izin orang tua.

Bahkan, kata dia, dalam pasal 7 disebutkan bahwa perempuan dengan usia di bawah 16 tahun dan laki-laki di bawah 19 tahun dapat diberikan dispensasi umur dengan permintaan kedua orang tua/ pihak perempuan.

UU tersebut, lanjut dia, membuka peluang terjadi pernikahan dini bagi anak. Maraknya kasus pernikahan anak akan berdampak pada berbagai aspek. Dari segi psikologis mereka jelas belum siap membina rumah tangga, emosi masih labil dan akan sangat rentan terjadinya kekerasan dan perceraian.

“Belum lagi kalau kita berbicara kesempatan pendidikan yang akan terbuang ketika mereka menikah, terutama bagi kaum perempuan. Ditambah ancaman kemiskinan yang mengintai mereka karena dengan pendidikan yang minimal akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak,” kata dia.

Dia mengatakan jika dilihat dari aspek kesehatan, perempuan yang menikah pada usia kurang dari 18 tahun akan berisiko mengalami keguguran dan kematian saat hamil serta melahirkan. Kondisi itu jelas akan membahayakan anak dan ibu. Dampak jangka panjang, penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI) di Indonesia akan sulit terwujud.

Menurut dia, banyak faktor yang menyebabkan maraknya perkawinan anak, mulai dari faktor himpitan ekonomi, rendahnya pendidikan dan faktor budaya. Ekonomi keluarga yang lemah menyebabkan orang tua mendorong anak perempuannya untuk sesegera mungkin menikah agar tidak menambah beban perekonomian. Syukur-syukur anak perempuan mereka dapat membantu perekonomian keluarga.

“Pemerintah harus ingat kembali bahwa banyak juga kasus pernikahan anak yang didorong oleh orang tua mereka sendiri. Bahkan ada yang terpaksa menikah karena dipaksa orang tua untuk melunasi utang piutang,” kata dia.

Saat ini, kata dia, Indonesia menganut prinsip bahwa mereka yang berusia di bawah 18 tahun disebut sebagai anak yaitu pada UU No 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat 1. Namun, UU Perkawinan memperbolehkan perempuan usia di bawah 18 tahun untuk menikah.

“Artinya, apakah pemerintah mendukung pernikahan anak? Jika tidak, pemerintah harus segera merevisi UU perkawinan terutama di pasal 6. India saja sudah mengeluarkan peraturan bahwa umur menikah minimal bagi perempuan adalah 18 tahun dan 21 tahun bagi laki-laki. Bahkan Mahkamah Aagung di India mengeluarkan dekrit tentang perkawinan anak, di mana disebutkan bahwa perkawinan anak di bawah umur adalah tindakan pemerkosaan. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Mampu dan mau kah?” kata dia.

Saat ini, kata dia, media massa tengah ramai membicarakan pernikahan anak di daerah Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kasus di Bantaeng hanya sebagian kecil contoh kasus pernikahan anak yang muncul. Sebenarnya mungkin kasus serupa banyak terjadi, tapi tidak muncul ke permukaan.

Merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012, sebanyak 25 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah pada usia di bawah 18 tahun. Kasus semacam itu juga lebih banyak terjadi di daerah pedesaan. Dengan perbandingan 19 persen terjadi di perkotaan dan 29,2 persen terjadi di pedesaan.

Sumber: Cendananews.

Komentar