Foto Validnews.

Kebijakan ‘Gantung’ Selamatkan BPJS

Sistem pengelolaan BPJS Kesehatan yang kurang matang menimbulkan gejolak dan merugikan peserta

Pemerintah mengeluarkan strategi baru untuk menutupi kebocoran anggaran yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jurus yang diambil pemerintah untuk menambal kebocoran anggaran adalah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya.

Permenkes ini lahir untuk menekan layanan yang banyak digunakan mengikuti selera peserta BPJS. Bukan berdasarkan hasil diagnosis tenaga kesehatan. Hal ini terbukti dari evaluasi BPJS Kesehatan tahun 2018. Tersimpul, layanan yang paling banyak diakses peserta BPJS adalah melahirkan secara caesar. Idealnya tidak semua proses melahirkan itu harus dilakukan dengan tindakan caesar yang menguras anggaran sebesar Rp3,22 triliun. Tindakan ini menjadi salah satu penyebab kebocoran anggaran BPJS.

Hanya saja, penerapan permenkes di lapangan ini menuai masalah karena aturan yang belum matang. Seperti yang dialami Clara (31), peserta BPJS Kesehatan yang menjalani pengobatan rawat jalan di salah satu rumah sakit kawasan Depok. Pasien gangguan paru-paru ini terkejut saat diminta membayar uang tambahan karena aturan baru di rumah sakit yang menjadi fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL) itu.

Beruntung Clara terhindar dari bayar tambahan dari layanan kesehatan yang dilakoninya hari itu. Pembawaannya yang cerewet menyebabkan petugas urung meminta tambahan biaya. Clara berkeras meminta petugas rumah sakit itu menunjukkan bukti peraturan baru yang mengharuskan peserta BPJS membayar uang tambahan.

“Saya minta hitam di atas putihnya mana?” Ujar Clara kepada Validnews, Rabu (6/2).

Jawaban itu membuat petugas rumah sakit terperanjat. Hingga akhirnya petugas itu mengatakan peraturan baru itu akan segera berlaku dua sampai tiga bulan mendatang.

Kejadian yang dialami Clara menunjukkan, ada pihak rumah sakit mencoba mengambil keuntungan dengan tameng permenkes yang belum ‘tayang’. Untungnya, Clara merupakan pasien yang berani mencari kejelasan, jika tidak, ceritanya akan berbeda.

PenghujungTahun 
Pada 17 Desember 2018 lalu, Kemenkes mengundangkan Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya. Ada dua hal yang diatur dalam ketetapan permenkes itu, yakni urun biaya dan selisih biaya. Hanya saja, dalam permenkes itu belum ditetapkan jenis layanan kesehatan yang masuk dalam kategori urun biaya. Kemenkes masih membentuk tim untuk menentukan jenis layanan kesehatan yang terkena urun biaya.

Adapun urun biaya yang dimaksud adalah tambahan biaya yang dibayar peserta saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Sementara selisih biaya adalah tambahan biaya yang dibayar peserta pada saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi daripada haknya.

Sebenarnya penyalahgunaan layanan BPJS Kesehatan yang selama ini terjadi dan banyak dikeluhkan. Lambatnya pelayanan, menipisnya stok obat yang mengharuskan peserta membeli secara pribadi dan pengkondisian layanan medis pasien oleh rumah sakit, adalah keluhan dominan.

Dio (36), salah satunya, mengaku kerap kesulitan mendapat layanan unit gawat darurat (UGD) di salah satu rumah sakit pemerintah daerah di Jakarta Timur. Pikirnya, dengan status rumah sakit pemerintah, pelayanan BPJS Kesehatan lebih maksimal. Tapi faktanya, ia harus sabar mengikuti rangkaian proses panjang setiap ingin mengakses layanan UGD.

“Di sana harus menunggu lama kalau masuk UGD untuk dilayani. Makanya harus lebih cerewet,” kata Dio saat ditemui Validnews, Rabu (6/2).

Selain layanan UGD, Dio juga pernah jengkel dengan pelayanan perawat saat hendak mengambil obat anaknya yang dirawat karena penyakit gangguan pernafasan. Saat itu, petugas rumah sakit menyebutkan kalau obat antibiotik yang telah diresepkan dokter tidak tersedia alias habis. Dio sama sekali tidak percaya dengan penjelasan perawat tersebut. Alasannya, rumah sakit yang menjadi rujukan penyakit anaknya itu berskala nasional.

Dio sempat adu mulut dengan perawat lantaran tidak percaya rumah sakit besar kehabisan obat antibiotik. Ujung ceritanya, perawat memberikan antibiotik dengan merek berbeda. “Peserta BPJS memang kudu cerewet kalau ingin mendapat pelayanan,” ujarnya.

Ikuti Selera
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes Sundoyo menjelaskan soal urun biaya dalam permenkes baru tersebut. Ada dua dari tiga rincian yang telah selesai ditetapkan, yakni tata cara dan besaran. Sementara satu rincian sisanya, yaitu jenis pelayanan masih dalam proses penentuan oleh tim.

Tim pengkaji tersebut ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek. Adapun tim itu terdiri dari organisasi profesi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PRSI), akademisi, Kemenkes, dan lembaga terkait lainnya.

Meski belum ditetapkan, secara normatif, jenis pelayanan yang dimaksud sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) Pasal 22. “Misalkan penggunaan vitamin, lalu yang kedua pelayanan yang tidak sesuai dengan indikasi medis. Itu contoh yang ada di undang-undang secara umum,” tutur Sundoyo kepada Validnews, Rabu (6/2).

Sayangnya, kata Sundoyo penetapan jenis pelayanan yang dapat disalahgunakan tidak semudah membalikkan kedua tangan walaupun sudah ada aturan dalam UU SJSN. Misalnya, soal vitamin yang dalam UU SJSN sudah disimpulkan sebagai layanan yang berpotensi menimbulkan moral hazard atau tindakan yang dipengaruhi oleh selera dan perilaku.

“Namun juga harus ditinjau lagi apakah pelayanan yang tidak sesuai indikasi medis termasuk moral hazard atau bukan? Hal-hal seperti ini yang harus dikaji oleh tim sehingga butuh waktu lama,” ujarnya.

Beralih ke selisih biaya, kata Sundoyo peraturan itu hanya dikenakan untuk peserta BPJS yang ingin naik kelas satu tingkat. Otomatis, kenaikan kelas itu berkaitan dengan penambahan fasilitas. Identiknya dengan kenyamanan saat mengakses layanan. Atas kenaikan kelas itu maka dikenakan selisih biaya.

Hanya saja, dalam kenaikan kelas permenkes itu memberikan fasilitas lebih kepada kelas satu, dibandingkan kelas tiga dan di bawahnya. Bagi peserta kelas satu, aturan itu memperbolehkan naik hingga dua kelas, ke VIP atau VVIP. Sedangkan fasilitas ini tidak akan bisa dinikmati oleh kelas di bawahnya, seperti kelas dua tidak bisa naik ke VIP, hanya ke kelas satu.

“Bila seorang peserta BPJS mendaftar di kelas tiga, lalu ingin naik ke kelas dua, berarti orang tersebut mencari kenyamanan lebih,” pungkas Sundoyo.

Ketentuan itu diterapkan karena pelaksanaan JKN jika mengacu pada UU SJSN harus sesuai dengan prinsip gotong royong. Maksudnya seorang peserta yang kondisi ekonominya mampu wajib membantu yang tidak mampu. Jangan sampai peserta BPJS mendaftar kelas tiga, namun pada saat peserta tersebut sakit tiba-tiba menambah biaya untuk ke kelas satu.

Penerapan selisih biaya ini merupakan upaya Kemenkes mengedukasi dan mendorong agar masyarakat menggunakan fasilitas BPJS sesuai kemampuan. Demikian juga dengan urun biaya yang merupakan upaya untuk mengedukasi masyarakat agar mengikuti pelayanan yang sudah sesuai diagnosis medis, tidak perlu meminta menaikkan layanan sesuai selera.

Sundoyo juga memastikan permenkes ini tidak menurunkan manfaat jaminan kesehatan. Peserta tetap mendapat pelayanan, tetapi kena iuran jika ingin sesuai selera. Jaminan peserta mendapat manfaat telah diatur dalam Pasal 22 dan 23 UU SJSN. Sebagai lanjutannya pada Pasal 22 Ayat 2 dikatakan bahwa ketika jenis pelayanan disalahgunakan akan dikenakan urun biaya.

“Jadi tidak mungkin permenkes bertentangan dengan perpres, itu kata kuncinya,” kata Sundoyo.

Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf ikut bicara soal munculnya kekhawatiran penurunan manfaat. Di kacamatanya, pelayanan menurut tidak akan terjadi. Katanya, tidak ada hubungannya sistem urun biaya dan selisih biaya membuat layanan jadi menurun. Peserta memang diminta membayar nominal tertentu, tetapi itu hanya berlaku bagi mereka yang meminta kenaikan layanan.

Jika ditinjau dari besaran nominal urun pun, angka yang dibayarkan BPJS jauh lebih besar daripada yang dibayar peserta. Untuk satu kali kunjungan rawat jalan di rumah sakit kelas A dan B, peserta membayar Rp20 ribu, sedangkan kelas C dan D Rp10.000. Atau maksimal peserta membayar Rp350 ribu untuk 20 kali kunjungan selama 3 bulan.

Sementara pada rawat inap, urunan yang harus dibayar peserta adalah 10% dari tarif Indonesian Case Base Groups (INA-CBG’s) yang ditetapkan. Misal total biaya penindakan Rp3 juta, peserta hanya membayar Rp300 ribu dari biaya tersebut. Selanjutnya, paling tinggi peserta hanya mendapatkan beban membayar maksimal Rp30 juta.

“Artinya porsi yang dibayarkan BPJS tetap lebih besar. Dan intinya urun biaya itu mengatur supaya tidak jatuh pada perilaku dan selera peserta,” tukasnya saat ditemui Validnews di Kantor BPJS Kesehatan Pusat, Selasa (29/1).

Sebenarnya mengenai layanan yang berpotensi disalahgunakan peserta sudah dibahas pada tahun 2004, tepatnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Hanya saja baru diatur pada tahun 2018 genap setelah enam tahun JKN berjalan. Artinya sudah kelihatan layanan-layanan apa yang banyak disalahgunakan sehingga perlu dievaluasi sistemnya.

Terkait pengaruhnya ke defisit, Iqbal menegaskan permenkes ini bukan untuk menutup defisit. Persoalan defisit berkaitan dengan kecilnya besaran iuran. Ditambah lagi peserta belum rutin membayar iuran, cenderung melunasi ketika akan mengakses layanan kesehatan saja.

“Apakah dengan mendapat Rp10 ribu atau Rp20 ribu dengan item yang terbatas itu akan membantu biaya? Kan tidak. Artinya secara langsung itu tidak bisa menutup defisit. Orang BPJS Kesehatan bayarnya malah lebih besar, bagaimana bisa menutup defisit?” terang Iqbal.

Hambatan Sosialisasi 
Iqbal tak menampik permenkes itu berpotensi menimbulkan pro kontra bagi masyarakat. Apalagi selama ini mereka tidak dibebankan membayar biaya tambahan saat mengakses layanan. Namun, jika manfaat permenkes sudah dirasakan, ia yakin masyarakat akan menerima dengan tangan terbuka. Untuk membuat masyarakat sadar manfaat permenkes, pihaknya menurunkan kader-kader BPJS di 127 kantor cabang ke sekitar 2.400 rumah sakit yang bekerja sama.

“Rumah sakit yang bekerja sama ini perlu didekati kantor cabang dengan cara sosialisasi agar rumah sakit tahu urun biaya boleh diterapkan kalau sudah ada keputusan menterinya. Kalau belum ya belum boleh,” tukasnya.

Ia berharap rumah sakit mau bekerja sama menerapkan permenkes jika benar-benar sudah ada keputusan menteri. Jangan sampai BPJS yang selama ini memberi manfaat malah dianggap menyusahkan masyarakat karena kenyataannya BPJS membuat masyarakat lebih berani mengakses layanan kesehatan. Bahkan angka kepesertaan BPJS terbilang tinggi, yaitu 82% dari total seluruh masyarakat dengan 60% di antaranya aktif membayar.

Pentingnya sosialisasi diamini oleh Koordinator Hukum dan Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia  (YLKI), Sularsi. Terlebih bila mengacu pada implementasi yang telah terjadi sebelumnya, terlihat adanya ketidaktahuan masyarakat terkait aturan BPJS. Karenanya, dia mendorong pemerintah segera melakukan sosialisasi yang benar kepada masyarakat terkait regulasi tersebut.

“Perlu ada pemahaman kepada masyarakat karena masyarakat sudah melakukan iuran setiap bulannya, maka mereka memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana aturan-aturan yang telah dibuat,” kata Sularsi kepada Validnews, Rabu, (6/2).

Bila sosialisasi mengalami sumbatan, dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Contohnya persoalan klasik di masyarakat yang tidak tahu tahapan layanan kesehatan ke rumah sakit yang seharusnya menggunakan rujukan dari faskes pertama. Sularsi menilai sebelum kebijakan diterapkan, perlu ada evaluasi dari praktik yang telah terjadi.

Selain itu, rumah sakit pun bisa menjadi korban bila sosialisasi kebijakan ini tak dilakukan dengan benar. Hal ini karena rumah sakit langsung berhadapan dengan masyarakat yang belum mengetahui sosialisasi. Jadi, kerja rumah sakit bertambah karena harus memberikan sosialisasi kepada pesertanya.

Persoalan permenkes di lapangan bagi YLKI tidak aneh. Pasalnya, perumusan kebijakan ini tak melibatkan pihak-pihak terkait, seperti praktisi, konsumen, BPJS beserta fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Menurutnya, Kemenkes seperti membuat peraturan tanpa adanya konsultasi secara optimal dengan pihak-pihak terkait selaku penerima kebijakan ini.

“Artinya jangan sampai regulasinya bagus, tetapi dalam implementasinya tidak bisa dilakukan,” ujarnya.

Mekanisme perumusan kebijakan yang seperti itu juga membuat masyarakat tak mengetahui apakah besaran biaya yang mereka bayarkan sudah ideal atau belum. Padahal ketika setiap orang datang ke rumah sakit dan dikenakan biaya, mereka harus mengetahui penjelasan secara rinci mengenai biaya yang mereka keluarkan.

“Ini yang harus dijelaskan, hitungannya seperti apa sampai mendapatkan nilai nominal itu. Ini kan yang tidak keluar ke masyarakat,” jelasnya.

Research Associate The Indonesia Institute (TII) Umi Latfiah menguatkan penilaian Sularsi. Sosialisasi yang tak maksimal membuat kebingungan di masyarakat. Menurutnya, kelemahan BPJS Kesehatan selama ini ialah tidak melakukan sosialisasi peraturan secara masif.

“Jadi pengguna BPJS sendiri menjadi terkaget-kaget dengan aturan yang baru,” kata Umi, Rabu (6/2).

Ia mencontohkan, seperti masyarakat yang bingung dengan penerapan sistem online dalam pembuatan rujukan. Karenanya, bukan tak mungkin bila BPJS Kesehatan tak melakukan sosialisasi yang masif kepada masyarakat maka akan membingungkan masyarakat.

Menambah Defisit
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, keterlibatan YLKI atau perwakilan peserta dalam tim pengkaji permenkes sangat penting. Kebutuhan peserta harus diwakili agar layanan yang dikenakan urun biaya tidak memberatkan peserta.

Keberadaan permenkes sendiri sebenarnya sudah sesuai dengan hierarki hukum positif, yakni UU SJSN dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Tetapi pelaksanaannya harus benar-benar dikawal. Jangan sampai beban biaya dijatuhkan kepada peserta atau malah jadi bumerang bagi BPJS.

Hal ini diungkapkan Timboel karena dalam Permenkes Pasal 2 telah disebutkan bahwa tujuannya adalah untuk kendali mutu dan kendali biaya. Padahal seharusnya hanya untuk mengatur lebih lanjut layanan yang berpotensi disalahgunakan, bukan untuk kendali biaya. Kalau ditujukan sebagai kendali biaya, sistem urun dan selisih biaya tidak tepat. “Yang ada malah menambah beban BPJS alias menambah defisit,” ujar Timboel Siregar.

Keputusan jenis layanan, kata Timboel berdampak langsung pada naik turunnya defisit yang nantinya dikenai urun. Kalau salah menetapkan, masyarakat akan mengakses layanan sesukanya dan BPJS kembali kebobolan untuk menutupi biaya tambahan. Salah satu contohnya pada kasus kelahiran caesar.

Sebagai layanan INA-CBG yang paling banyak diakses dengan jumlah 586.696 kejadian dari Januari hingga November 2018, caesar menghabiskan biaya BPJS sebesar Rp3,22 triliun. Kalau caesar boleh diakses peserta dengan membayar urun 10%, biaya yang dibayar BPJS akan menjadi lebih besar yaitu 90% dari tarif INA-CBG caesar.

Tarif INA-CBG caesar adalah Rp5,4 juta. Artinya peserta hanya membayar Rp540 ribu dan sisanya oleh BPJS. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan kalau peserta melahirkan secara normal dengan biaya Rp1,7 juta. Hal itu terjadi kalau layanan caesar masuk kategori urun biaya.

“Urun biaya tidak langsung otomatis, tetapi terseleksi oleh kemauan peserta. Kemudian persoalan tidak selesai disitu. Fakta yang terjadi banyak peserta mau sesuai diagnosis dokter tetapi dikondisikan oleh rumah sakit,” kata Timboel.

Terkait kasus caesar sendiri, Timboel tidak yakin menjadi layanan paling banyak diakses peserta BPJS karena seharusnya dilakukan pada ibu hamil dengan kesulitan medis. “Apakah sebanyak itu yang harus caesar? Logikanya tidak. Tetapi dikondisikan rumah sakit seolah-olah pasien harus caesar. Inilah salah satu bentuk fraud yang harusnya dikendalikan,” ujar Timboel.

Sementara itu, terkait selisih biaya, Timboel, menilai harusnya ketentuan itu tidak dibuat karena malah menyusahkan tiga pihak. Pertama peserta, mereka yang tadinya boleh mengakses layanan dua tingkat di atas kelasnya menjadi tidak bisa lagi. Padahal tidak ada yang salah dengan mereka mengakses dua tingkat atau lebih kelas layanan.

“Tidak ada regulasi di JKN ini yang mengatakan orang kaya wajib kelas satu atau orang miskin di kelas tiga. Ini baru sebatas etika dan pelayanan BPJS itu sendiri masih bermasalah,” tuturnya.

Masih bermasalahnya layanan BPJS itulah yang membuat orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas mendaftar di kelas tiga. Sehari-harinya mereka memakai layanan asuransi swasta karena lebih terjamin dan efisien.  Mendaftar BPJS hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajibannya.

Hal ini diperkuat dengan tingginya angka orang kaya yang mendaftar BPJS kelas tiga. Laporan BPJS per 30 November 2018 menunjukkan 32.065 investor berada di kelas tiga. Hanya 14.679 yang di kelas dua da 12.135 di kelas satu. Padahal, seorang investor jelas punya kemampuan ekonomi yang lebih daripada itu.

Atas kondisi ini, Timboel menilai pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang mengatur ketentuan kelas secara spesifik terlebih dahulu.

Pihak kedua yang dirugikan adalah peserta asuransi swasta yang disetarakan kelas dua. Layanan asuransi yang mereka miliki memungkinkan mereka naik ke VIP, tetapi karena ada aturan selisih biaya, mereka hanya bisa naik ke kelas satu. Ini jelas merugikan padahal mereka telah bayar mahal.

Kemudian yang terakhir rumah sakit. Selama ini rumah sakit mendapat uang tunai dari peserta yang membayar langsung selisih kelasnya kepada rumah sakit. Besarnya bisa sampai selisih dua tingkat kelas, sedangkan sekarang hanya satu. Timboel menilai justru ruang-ruang uang tunai rumah sakit ini yang harus dibuka untuk membantu biaya operasional rumah sakit karena paket bayaran INA-CBG’s rumah sakit cenderung lebih lama, yaitu paling cepat 14 hari setelah peserta keluar rumah sakit.

Benahi Sistem
Ketua Komisi Pengawasan dan Monev Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Zaenal Abidin menyoroti soal sistem BPJS Kesehatan yang perlu dibenahi. Penetapan iuran BPJS yang terlalu kecil dari awal membuat BPJS berujung defisit sehingga regulasi yang dibuat setelahnya harus mengatasi persoalan keuangan itu.

Memang kalau iuran tidak dinaikkan dan pemerintah tidak bisa menalangi dalam jumlah besar, urun biaya dinilai bisa menjadi satu solusi. Namun, di satu sisi urun biaya dapat menyandera sistem JKN dan pesertanya.

Hingga saat ini pihaknya mengaku belum juga mengetahui jenis pelayanan kesehatan apa yang terkena urun biaya. Berdasarkan pendapat pribadinya sebaiknya pemerintah menjamin beberapa jenis penyakit besar, seperti jantung, kanker, diabetes. Sementara itu, untuk penyakit ringan, seperti batuk dan pilek, tidak usah ditanggung pemerintah.

“Pemerintah tidak memberikan jalan keluar, sebenarnya jaminan sosial untuk mencegah risiko finansial, bukan untuk meng-cover semua penyakit,” katanya kepada Validnews, Senin (4/1).

Ketua Komisi IX Dede Yusuf Efendi, mengakui kalau DPR menolak kenaikan iuran karena desakan konstituen saat 2016. Namun, saat itu DPR telah mengusulkan sistem urun biaya untuk membantu BPJS menangani persoalan defisit. Akan tetapi, usulan itu tidak direspons. Pihak BPJS sendiri waktu itu menyanggupi pembiayaan tanpa urun biaya.

“Pernah kita tawarkan konsep urunan, akhirnya ketika sana-sini mentok konsep urunan kembali digulirkan,” katanya kepada Validnews, Selasa (5/1).

Meskipun pengenaan urun belum diterapkan, Komisi IX tetap akan meminta pernyataan resmi dari Kemenkes dan BPJS terkait hitung-hitungan dan penyakit yang dikenakan urunan. Karena ia tidak memungkiri beberapa pasien dengan penyakit berat resah terhadap peraturan urunan ini.

Dia menuturkan Komisi IX DPR telah berulang kali melakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Sayangnya, permasalahan biaya selalu muncul kembali dan belum ada solusi selain menaikan iuran.

Perbaikan sistem ini diperkuat oleh Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia mengatakan, hal pertama yang harus dilihat sebenarnya jangan hanya permenkes saja karena ia merupakan turunan dari UU SJSN dan Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Bila dikatakan sebagai suatu masalah, rangkaiannya harus dipandang secara utuh.

“Kalau secara konseptual urun biaya adalah masalah, harus dipandang secara konkrit, jangan hanya menyalahkan permenkes, namun juga harus menyalahkan perpres dan undang-undang yang melibatkan DPR dan Pemerintah,” ujar Isnur.

Menurutnya, permenkes hanya pelaksanaan teknis saja. Sebagai pelaksana UU SJSN, aturan ini sudah sangat telat. Mengapa ada pasal pada 2004 yang turunannya baru ada pada 2018? Akhirnya, ia yakin bahwa permenkes ini dibuat setelah ada desakan biaya.

YLBHI menginginkan masalah ini dipandang secara makro dan harus ada audit yang menyeluruh dari pemerintah.

Tidak hanya audit manajerial, seperti keuangan, audit legalitas, harusnya dilakukan. Masalah definisi hukum dan aturan turunannya sebagai rujukan utama, dinilai kurang tegas dan jelas. Akibatnya, centang-perentang masalah timbul pemerintah harusnya berpikir lebih jauh lagi.

Sumber: Validnews.

Komentar