Partai politik (parpol) pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diminta tidak tergoda untuk bergabung ke pemerintah. Perjuangan parpol tidak harus berada di kabinet. Menjadi oposisi dinilai lebih terhormat. Tanpa kritik, pemerintah tak ada yang mengontrol. Akibatnya demokrasi tidak berjalan baik.
“Partai-partai politik di kubu 02, hendaknya tidak tergoda pada wacana masuk ke kabinet. Karena perjuangan partai-partai politik selama pemilu presiden adalah perjuangan yang mulia,” kata Sekjen DPP Partai Nasdem Johny G Plate di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat (12/7) kemarin.
Menurut Johny, parpol kubu 02, hendaknya konsisten dengan perjuangannya selama ini. Meski begitu, dia setuju rekonsiliasi. Namun, tujuannya untuk persatuan dan membangun bangsa. Bukan bagi-bagi kekuasaan. Anggota Komisi XI DPR RI ini menjelaskan, rekonsiliasi bukan berarti harus semuanya berada dalam kabinet.
Partai pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin berada di pemerintah. Sedangkan parpol pendukung Prabowo-Sandiaga di luar pemerintah. “Berada di dalam maupun di luar pemerintahan, sama-sama punya tugas mulai dalam membangun bangsa dan negara,” imbuhnya.
Selama berada di luar pemerintah, parpol tugasnya melakukan kontrol dengan memberikan kritik-kritik membangun. Sehingga pemerintahan akan berjalan hati-hati dan lebih baik. “Kalau semua partai politik berada dalam pemerintahan, tidak ada kontrol lagi. Sehingga demokrasi tidak berjalan baik,” jelasnya.
Dia menegaskan, sistem politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial, tidak mengenal istilah oposisi. Parpol yang berada di luar pemerintahan disebut sebagai penyeimbang. Sebagai partai penyeimbang, tugasnya melakukan kritik konstruktif terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak populer.
“Kalau partai penyeimbangnya kuat, maka kontrol terhadap pemerintah akan berjalan efektif,” bebernya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan sampai saat ini belum ada agenda untuk masuk ke pemerintahan. Dia menyebut, sikap politik Gerindra belum diputuskan secara resmi. Kendati begitu, dia memastikan hubungan Jokowi dan Prabowo baik-baik saja.
“Hubungan Pak Jokowi dan Pak Prabowo tidak ada masalah. Mereka baik-baik saja. Soal ada perbedaan pandangan politik itu wajar,” kata Arief.
Dia berharap rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo tidak hanya menjadi pertemuan politik biasa. Namun menghasilkan komitmen nasional. Menurutnya, komitmen nasional itu terkait hal yang bisa digunakan untuk memperbaiki negeri.
Arief berpendapat, jika memang Jokowi memiliki tujuan demi kepentingan rakyat, Jokowi harusnya bisa lebih bebas dalam menentukan susunan kabinetnya tanpa ada tekanan politik. “Mengingat ini kesempatan terakhir Jokowi memimpin negeri ini. Saya akan dorong Pak Prabowo menyatakan ini pada Pak Jokowi bahwa ini penting. Bahwa kekuatan Jokowi sangat kuat dan tanpa ada tekanan politik. Pak Jokowi sebenarnya nothing to loose,” pungkas Arief.
Terpisah, peneliti bidang politik The Indonesian Institute, Rifqi Rachman mengatakan keputusan parpol bergabung dengan pemerintah tidak boleh berdasarkan hasrat ingin berkuasa semata. Menurutnya, proses rekonsiliasi yang sedang diupayakan saat ini sangat bernuansa elitis.
Persoalan polarisasi di masyarakat, hanya disinggung oleh beberapa tokoh tanpa pemaparan lebih lanjut. Dia menyontohkan, terkait langkah konkret apa yang dapat diambil agar situasi menjadi lebih kondusif. “Di sinilah seharusnya partai politik mengambil peran melalui pendidikan politik. Bukan hanya kadernya saja, namun masyarakat secara luas,” jelas Rifqi.
Dengan terlaksananya pendidikan politik, masyarakat diharapkan akan memahami nilai-nilai berdemokrasi yang baik. Parpol perlu menanamkan pemahaman bahwa berbeda pilihan, identitas, bahkan ideologi adalah hal yang mahfum dalam demokrasi.
“Selain itu, perbincangan soal program apa yang bisa dibawa parpol jika bergabung dalam pemerintahan harus diekspos ke publik. Sebab, publik berhak memahami dan mengetahui hal tersebut,” tukasnya.
Dikatakan, parpol yang akan bergabung juga dipastikan memiliki visi dan misi yang sejalan. Tujuannya agar tidak menjadi bumerang dalam proses kebijakan.
Sumber: Radartegal.com