Pada 15 Desember 2022 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) menjadi undang-undang. Pengesahan Omnibus Law Sektor Keuangan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 (dpr.go.id, 15/12/22). Hasil keputusan tersebut tentunya memperkuat urgensi kemapanan sektor finansial bagi suatu negara dan menjadi optimisme peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dalam kajian Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa pengesahan UU P2SK memiliki beberapa urgensi untuk melakukan reformasi sektor keuangan serta mengatasi beberapa permasalahan. Di antaranya adalah tingginya biaya transaksi, terbatasnya instrumen keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, rendahnya literasi keuangan, ketimpangan akses jasa keuangan yang terjangkau, kebutuhan penguatan kerangka koordinasi dan penanganan stabilitas system keuangan, serta tingginya risiko-risiko baru di sektor keuangan seperti pandemi, gejolak geopolitik, teknologi, dan perubahan iklim.
Setidaknya terdapat tujuh belas regulasi terkait sektor keuangan yang sudah berlaku cukup lama, bahkan puluhan tahun, yang dirangkum dalam RUU P2SK. Regulasi-regulasi tersebut berasal dari badan dan lembaga keuangan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kementerian Keuangan, serta Bank Indonesia. Adanya gabungan regulasi menjadi satu pintu Omnibus Law sektor keuangan akan meningkatkan inklusi keuangan Indonesia dan tentunya berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam definisinya inklusi keuangan berarti para individu dan pelaku usaha memiliki kemampuan untuk mengakses produk dan layanan keuangan seperti transaksi, pembayaran, penyimpanan, kredit, dan asuransi (Ika, 2021). Karena itu, inklusi keuangan merupakan faktor pendorong utama untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan serta meningkatkan kemakmuran rakyat.
Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 80 juta orang dikategorikan sebagai unbanked population atau excluded population. Kondisi inilah yang membuat masih banyak penduduk yang hidup dalam kondisi miskin. Meskipun infrastruktur keuangan tumbuh pesat, indeks inklusi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah. Global Findex Database Bank Dunia melaporkan indeks inklusi keuangan Indonesia tahun 2017 hanya sebesar 48,9 persen (Kemenkeu, 2021). Artinya, ada banyak kendala bagi sebagian besar penduduk dewasa di Indonesia untuk mengakses produk dan layanan keuangan serta menggunakannya untuk berbagai kebutuhan.
Pemerintah telah mengatur strategi dalam mendorong percepatan inklusi keuangan yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SKNI). Dalam prosesnya, perlu ada pengawasan dalam implementasi kebijakan dari program inklusi keuangan diantaranya peningkatan literasi keuangan dan peningkatan program produktif seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pembiayaan Usaha Mikro (UMi).
Keberadaan UU P2SK menjadi tambahan optimisme selain kebijakan yang telah berlaku sebelumnya. Undang-undang yang berisi 27 Bab dan 341 Pasal tersebut akan mengatur beberapa hal, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan otoritas sektor keuangan dengan tetap memperhatikan independensi; (2) Penguatan tata kelola dan peningkatan kepercayaan publik; (3) Medorong akumulasi dana jangka panjang sektor keuangan untuk kesejahteraan dan dukungan pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan; (4) Perlindungan konsumen; dan (5) Literasi, inklusi, dan inovasi sektor keuangan.
Optimisme reformasi keuangan juga telah disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa disahkannya RUU P2SK merupakan langkah maju dalam menuntaskan salah satu agenda reformasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara. Hal ini juga merupakan ikhtiar untuk membawa RUU P2SK agar mereformasi sektor keuangan Indonesia demi masa depan bangsa yang lebih sejahtera.
Tanpa bermaksud memperkecil optimisme reformasi keuangan, terdapat rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Untuk melakukan implementasi UU P2SK, maka kementerian dan lembaga keuangan harus memastikan aksesibilitas masyarakat terlebih dahulu dalam menjangkau produk dan layanan jasa keuangan. Hal tersebut dapat berupa peningkatan literasi keuangan masyarakat dan perbaikan infrastruktur seperti internet dalam lingkup daerah.
Lebih lanjut, peningkatan aksesibilitas masyarakat pada produk keuangan juga akan menurunkan unbanked people di Indonesia. Langkah awal yang ditempuh dapat berupa melakukan kerjasama antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Sosial untuk pendataan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga penyaluran bantuan dapat menggunakan rekening person-to-person.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)