RUU Cipta Kerja dan Momen Hari Buruh pada Masa Pandemi Covid-19

Bagaimana rasanya memeringati Hari Buruh pada masa pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19) seperti saat ini? Pertanyaan ini pun terdengar amat gamang. Jika tahun-tahun sebelumnya, Hari Buruh di Indonesia diwarnai berbagai tuntutan terhadap kebijakan ketenagakerjaan kepada Pemerintah, misalnya pengupahan, penghapusan perbudakan modern, jaminan sosial maupun hak-hak kerja layak bagi pekerja lainnya. Tahun ini, kompleksitas dunia kerja malah terlihat semakin runyam.

Persoalannya memang, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia tengah tercekik sejak masuknya Covid-19. Hantaman pemutusan hubungan kerja (PHK), pekerja dirumahkan sampai isu-isu klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi sorotan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 20 April menunjukkan bahwa 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan harus dirumahkan dan mengalami PHK akibat krisis Covid-19. Rinciannya, terdapat 1.304.777 pekerja dirumahkan dari 43.690 perusahaan di sektor formal. Sementara itu, 241.431 pekerja mengalami PHK dari 41.236 perusahaan. Pun, di sektor informal sebagai sektor yang paling terhantam, sebanyak 538.385 pekerja terdampak dari 31.444 perusahaan atau Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Akibatnya, angka pengangguran merangkak naik. Dari sekitar 5,3 persen, saat ini berada pada 7,4 persen dari 133.6 juta pekerja yang tercatat pada bulan Agustus tahun lalu. Bahkan, prediksi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), akan ada 2,9 juta sampai 5,2 juta pekerjaan hilang selama pandemi menerpa. Lebih jauh, angka pengangguran dapat mencapai 9,2 persen di tahun ini, lebih dari angka 7,5 persen yang telah diprediksi oleh International Monetary Fund dalam World Economic Outlook Report terbaru.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa pada masa pandemi ini, isu ketenagakerjaan menjadi salah satu arena yang terdampak paling ganas di negara manapun. Secara global, International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa tenaga kerja yang paling berisiko menghadapi kerentanan ialah pekerja pada sektor informal. Sekitar 1.6 miliar pekerja informal harus menelan ludah akibat ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan (ILO, 2020). Selain itu, dengan adanya pengurangan jam kerja harian akibat krisis Covid-19, hal ini berarti para pekerja informal terpapar bahaya langsung terhadap kondisi kesejahteraan mereka. Dengan kata lain: tidak bekerja berarti tidak ada uang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Belum lagi, karakter sektor informal pada masa pandemi ini memperlihatkan wajah ketenagakerjaan yang masih minim akan adanya sistem perlindungan sosial bagi pekerja, ketidakmungkinan untuk bekerja dari rumah maupun tidak ada pemasukan selama adanya lockdown maupun pembatasan sosial. Sektor industri yang paling terdampak ialah industri kuliner, sektor perhotelan dan pariwisata, retail dan manufaktur, layanan perawatan, serta layanan transportasi (World Economic Forum, 2020). Hal ini membuat situasi sosio-ekonomi pada masa krisis kini semakin mencekam.

 

Polemik Tenaga Kerja dalam Pusaran Krisis

Belum selesai dengan kerentanan para pekerja akibat Covid-19, dunia tenaga kerja di Indonesia pun tengah dirumitkan dengan adanya pro-kontra pembahasan RUU Cipta Kerja. RUU ini dikritik habis-habisan, salah satunya lantaran banyak ketentuannya belum jelas mengakomodasi kesejahteraan dan kerja layak bagi pekerja. Agak sedikit menghela nafas, persis tanggal 24 April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU tersebut.

Walaupun begitu, jika disisir, keberadaan klaster ketenagakerjaan dalam RUU tersebut sebenarnya malah menyulut kontroversi. Alih-alih berupaya memperbaiki ketentuan ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, RUU tersebut padahal sebenarnya terang benderang memperkuat ketentuan kemudahan berusaha dan perizinan investasi. Di satu sisi, kemudahan berusaha dan perizinan investasi berpotensi membawa dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan.

Namun, draf RUU Cipta Kerja yang ada seperti mengabaikan ekosistem kebebasan ekonomi dan kesejahteraan itu sendiri. Hal ini salah satunya terjadi karena RUU Cipta Kerja. justru tidak mengatur dengan tegas dan jelas peraturan terkait ketenagakerjaan, sehingga jelas berpotensi mengorbankan banyak aspek terkait kesejahteraan pekerja. Masalahnya, saat ini, peraturan tentang ketenagakerjaan dianggap kaku dan menjadi batu hambatan besar bagi peluang investasi. Bila memang hal tersebut dirasa masuk akal ketika situasi non-krisis, tetapi apakah ketika krisis seperti ini, argumentasi tersebut tetap ngotot diberlakukan?

Pada pusaran krisis saat ini, legislasi peraturan ketenagakerjaan yang ketat justru banyak mencegah tingginya jumlah pengangguran dan membantu pemerintah menangani dampak krisis ekonomi maupun bencana katastropik lainnya. Indonesia masih terbilang jauh lebih rendah ketimbang Amerika Serikat (AS) yang menerapkan regulasi ketenagakerjaan yang lebih luwes. Di negara tersebut, sekitar 26.5 juta pekerja telah menjadi penerima unemployment benefits atau tunjangan bagi penganggur sejak pertengahan bulan Maret lalu, seiring angka pengangguran yang meningkat ke angka 4.4 persen sejak 50 tahun terakhir dari 3.5 persen di bulan sebelumnya (The Jakarta Post, 30/4).

Di negara-negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan, peraturan yang ketat justru mencegah adanya PHK massal. Angka pengangguran di Jepang masih berada di angka 2.4 persen pada bulan Februari ketika pandemi datang, sedangkan di Korea Selatan, angkanya jatuh pada angka 3.3 persen. Data tersebut diperkuat dengan argumentasi dari pakar ekonomi Bloomberg, Justin Jimenez, bahwa keketatan regulasi ketenagakerjaan di ekonomi Korea Selatan dan Jepang secara historis memang telah membantu angka pengangguran tetap dapat diatur dengan baik selama krisis (The Japan Times, 30/3). Bahkan, angka pengangguran yang rendah justru menjadi salah satu faktor untuk membantu pemulihan ekonomi pasca-krisis lebih cepat.

Saat ini, Indonesia justru cukup keteteran menangani permasalahan pengangguran yang makin meningkat akibat dampak tidak proporsional dari pandemi Covid-19. Anggaran besar yang digelontorkan dalam berbagai mekanisme perlindungan sosial bagi para terdampak krisis sosio-ekonomi Covid-19 telah ditawarkan. Dilansir dari Kementerian Keuangan (8/4), penerima kartu Pra Kerja diharapkan mencapai 5.6 juta orang, ditambah skema lain yang ditawarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang mencapai 400.000 pekerja. Pada tahap 1, jumlah penerima manfaat dari program tersebut baru berada pada angka 168.111 orang.

Namun, jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dari angka pekerja yang terdampak secara keseluruhan di Indonesia. Belum lagi, buramnya dampak sosio-ekonomi Covid-19 masih meninggalkan ketidakpastian yang belum lekas dapat diprediksi berakhirnya, sehingga kompleksitas kerentanan para pekerja terdampak Covid-19 pun semakin rumit, dengan cakupan luas dan membutuhkan respons yang bukan “sedikit” biayanya.

Momen Hari Buruh di masa pandemi Covid-19 ini menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan kembali bagaimana memperbaiki potret ketenagakerjaan kita. Dampak-dampak sosio-ekonomi bagi pekerja pada masa krisis ini menjadi titik balik bagaimana memperhitungkan aturan-aturan kebijakan ketenagakerjaan yang secara tegas melindungi para pekerja. Penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja pun harus berani membidik konteks ini. Penguatan perlindungan bagi tenaga kerja melalui perlindungan sosial yang ditawarkan dan perbaikan protokol ketenagakerjaan oleh industri di masa krisis lebih banyak dibutuhkan ketimbang terburu-buru untuk melonggarkan aturan yang ada.

Dengan pertimbangan tersebut, jelas bahwa kebijakan kita berpihak untuk tidak meninggalkan para pekerja di masa yang amat gelap saat ini. Begitupun juga saat pandemi usai, ketika semuanya pulih bersama.

 

Nopitri Wahyuni

Peneliti Bidang Sosial

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

nopitri@theindonesianinstitute.com

Komentar