Momentum Percepatan Pengesahan RUU Perlindungan PRT

Senin, 22 Februari 2016, Kepolisian Republik Indonesia akhirnya menetapkan FS salah satu anggota DPR RI menjadi tersangka kasus penganiayaan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT)-nya. Padahal T, PRT yang menjadi korban sudah melaporkan tindak penganiayaan tersebut sejak September 2015 lalu.

Namun memang sesuai Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), mengatur pemeriksaan setiap anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD, dimana bagi anggota yang diduga terlibat kasus pidana harus mendapatkan izin dari Presiden. Begitu izin dari Presiden turun baru Kepolisian ‘berani’ menetapkan status tersangka kepada FS dan berikutnya melakukan pemeriksaan.

Bicara tentang kasus, Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012 hingga 2014, kekerasan terhadap PRT seperti yang dialami T mencapai 1071 kasus. Rata-rata pelakunya adalah majikannya sendiri.

Kasus ini, bisa menjadi momentum untuk kita merefleksi kenapa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah diinisiasi lebih dari 10 tahun lalu tidak pernah berujung ketok palu sebagai UU di DPR.

Refleksi pertama yang bisa kita tarik adalah, lamanya proses legislasi RUU Perlindungan PRT ini karena ada konflik kepentingan dari anggota DPR itu sendiri. Anggota DPR dalam hal ini adalah para majikan atau pemberi kerja.

Namun, dalam perjalanan advokasi pengesahan RUU Perlindungan PRT ini, Lita Anggraeni selaku Koordinator JALA PRT mengatakan bahwa yang dilindungi dari UU ini nantinya bukan hanya PRT, tetapi juga majikan itu sendiri. Misalnya dengan adanya kontrak kerja yang jelas dan tercatat secara legal, kedua pihak akan terlindungi. Kedua pihak punya hak menggugat pihak lainnya, jika tak patuhi perjanjian kerja tersebut misalnya.

Refleksi kedua, bahwa data yang disajikan oleh JALA PRT di atas, menurut penulis jauh lebih kecil dari data kasus kekerasan terhadap PRT yang sebenarnya. Dari kasus di atas kita bisa lihat, bahwa aparat penegak hukum mempunyai potensi lambat menangani kasus karena ada tantangan administratif misalnya dalam memeriksa terduga pelaku seperti kasus anggota DPR ini.

Atau dalam kasus lainnya, aparat penegak hukum masih melihat bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap PRT itu adalah ‘urusan keluarga’ sehingga tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Dengan anggapan kasus kekerasan terhadap PRT adalah ‘urusan keluarga’ dimana proses penyelesaian masalah hanya melibatkan kedua belah pihak, tanpa ada mediator maka menurut penulis keadilan dalam penyelesaian kasus tidak bisa dijamin.

Fungsi mediator, apakah itu dari Aparat Penegak Hukum, atau pun tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggal menjadi pihak ‘memastikan’ keadilan itu hadir. Dalam konteks kebijakan, Ini kemudian menjadi salah satu item penyelesaian sengketa antara majikan dan PRT yang seharusnya juga diatur di dalam UU Perlindungan PRT itu nantinya.

Akhirnya, penulis setuju bahwa hadirnya UU Perlindungan PRT akan menghadirkan keadilan bagi kedua belah pihak jika ada sengketa selain memberikan rasa aman dan nyaman selama bekerja. Jadi, RUU Perlindungan PRT yang masuk ke dalam Prolegnas Tahun 2016 untuk kategori ‘tingkat kedua’, yang akan dibahas jika ada UU lain sudah disahkan, dinaikkan ke ‘tingkat pertama’ dengan memandang urgensitas yang tinggi perlunya Indonesia memiliki UU ini.

Lola Amelia, Peneliti Bidang Kebijakan Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. lola@theindonesianinstitute.com

Komentar