Pemerintah Pusat tengah disibukkan dengan persiapan pemindahan ibu kota di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim). Kepadatan Jakarta menjadi salah satu alasan dibalik pemindahan ibu kota, lantaran kepadatan penduduk telah menelurkan berbagai masalah. Belum lagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) juga terus bergelut dengan pembenahan tata ruang
Sejumlah masyarakat antusias menyambut pembangunan ibu kota baru. Berbagai dukungan dari negara lain juga mulai bermunculan. Sejumlah negara termasuk Korea Selatan, juga telah menyatakan dukungannya untuk terlibat lebih jauh dalam pembangunan ibu kota yang diprediksi akan menelan biaya ratusan triliun rupiah ini.
Melihat situasi yang terjadi, tidak sedikit juga yang menolak pembangunan ibu kota baru. Penolakan itu dapat terlihat dalam survei yang dilakukan Indo Barometer (2020). Dari jumlah responden sebanyak 1.200 responden, sebanyak 53,8 persen responden menyatakan setuju. Sedangkan, 30,4 persen menyatakan tidak setuju. Alasan paling banyak yang dipilih oleh responden, yaitu jangkauan terhadap pemerintah pusat yang terlalu jauh.
Survei tersebut juga melihat aspek keberhasilan pembangunan ibu kota di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebanyak 45,9 persen responden yakin bahwa Presiden Jokowi akan berhasil membangun ibu kota. Dengan alasan paling banyak, karena Presiden Jokowi sudah terbukti dalam pembangunan infrastruktur (53,1 persen).
Sebesar 18,9 persen berpendapat bahwa Presiden Jokowi akan gagal membangun ibu kota baru. Menurut responden, alasan pertamanya karena biaya yang sangat mahal (43,3 persen). Kedua, membutuhkan waktu yang sangat lama (29 persen). Ketiga, memindahkan ibu kota sama saja memindahkan segala aspek (12,9 persen). Keempat, yaitu pesimistis (9,4 persen), serta kelima, karena pemindahan sistem yang kompleks (4 persen).
Pembangunan pada dasarnya memiliki potensi risiko. Kekhawatiran sebagian masyarakat akan kegagalan pemindahan ibu kota pada dasarnya wajar. Tidak semua kebijakan yang diambil pemerintah selalu berhasil. Di tengah berbagai persiapan teknis dan koordinasi yang dilakukan, minimalisasi risiko menjadi langkah penting menekan kegagalan pembangunan ibu kota. Minimalisasi risiko setidaknya dapat dilakukan dengan empat cara berikut.
Pertama, memperkuat kajian Tim Kajian Ibu Kota Negara (IKN) Kementerian PPN/Bappenas. Sejumlah kajian yang dilakukan, misalnya mulai dari lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, perlu menekankan pada berbagai dampak yang berpotensi mengganggu jalannya pembangunan ibu kota. Kajian ini penting untuk penyusunan strategi antisipasi dampak pembangunan IKN yang komprehensif.
Kedua, pembuatan Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN perlu secara cermat diikuti dengan dibukanya ruang dialog publik. Rencana pemindahan ibu kota telah dimulai pada era Presiden Soekarno dan dieksekusi pada masa kepemimpinan kedua Presiden Jokowi. Namun, tidak semua masyarakat mengetahui dan paham urgensi pemindahan ibu kota.
Adanya pembuatan draf diikuti dengan tatap muka dengan masyarakat sangat penting guna menambah dukungan masyarakat. Bagaimanapun, dalam negara demokratis, pelibatan masyarakat dalam pembuatan produk hukum akan semakin menambah kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan programnya.
Ketiga, percepatan pembentukan badan otorita pemindahan ibu kota, sehingga terdapat aktor-aktor yang lebih fokus menangangi pemindahan ibu kota. Program prioritas pemerintah tidak hanya memindahkan ibu kota. Masih banyak program yang memerlukan perhatian dan upaya serius pemerintah. Adanya badan otorita diharapkan sedini mungkin melakukan penyusunan perangkat daerah beserta startegi manajemennya, tanpa melupakan upaya reformasi birokrasi.
Keempat, pembuatan perencanaan detail manajemen pembiayaan pembangunan ibu kota dan sistem pengawasan keuangan. Orientasi pada efisiensi penggunaan anggaran menjadi salah satu kunci sukses pembangunan ibu kota. Secara teknis, pemanfaatan e-government yang terencana akan mendukung pembangunan ibu kota dan dapat mencegah adanya korupsi anggaran dan penyimpangan lain. Banyak aktor akan terlibat dalam pembangunan ibu kota baru.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, mengungkapkan telah ada lima negara yang tertarik menjadi investor, yaitu Jepang, Uni Emirat Arab (UEA), Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman (Katadata.co.id, 16/01). Bagaimana pemerintah mampu memberikan jaminan bahwa investasi yang akan dilakukan juga dapat membawa dampak yang baik pada negara investor, juga menjadi tantangan Pemerintah Pusat.
Pada intinya, minimalisasi risiko merupakan upaya komprehensif. Jika minimalisasi risiko dapat dikerjakan Pemerintah Pusat dengan tepat dan sesuai target waktu, maka upaya ini akan sangat mendukung keberhasilan pemindahan ibu kota. Tak lupa sebagai warga negara, perlu juga memberikan dukungan terhadap pemerintah melalui saran dan kritik yang membangun.
Vunny Wijaya,
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research