Indonesia Is Not for Sale: Seputar Upacara di IKN dan Hak Atas Tanah

Pada hari ulang tahun ke-79 Republik Indonesia, koalisi yang terdiri dari warga korban proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil menggelar sendiri upacara di kawasan Pantai Lango, terpisah dari IKN. Setelah upacara, koalisi yang selanjutnya disebut Koalisi Tanah untuk Rakyat ini membentangkan spanduk besar di Jembatan Pulau Balang yang bertuliskan ”Indonesia Is Not for Sale: Merdeka” (nasional.kompas.com, 17/8/2024). Slogan ini muncul karena munculnya kebijakan yang memperbolehkan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) untuk tanah di IKN sampai dengan 190 tahun, yang mana periode ini lebih lama dari zaman kolonialisme Belanda. Menurut kabar terbaru, aktivis yang membentangkan spanduk besar ini dibawa ke kantor polisi, namun telah dibebaskan karena tidak adanya Berita Acara Penangkapan (bbc.com, 18/8/2024).

Kebijakan pertanahan ini awalnya berasal dari disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Dalam UU IKN ini, diatur dalam Pasal 16A Hak Atas Tanah (HAT) dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu yang sama. Kemudian untuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan durasi yang sama.

Pengaturan jangka waktu HAT di atas dibuat berbeda dengan HAT yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA). Dalam UU PA, HGU diberikan untuk paling lama 25 (dua puluh lima) sampai 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan untuk HGB, jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan bisa diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun.

HAT, terutama HGU yang lebih lama, membuat penguasaan akan tanah menjadi sangat sulit dan cukup mustahil untuk berpindah, apalagi mengingat satu periode bisa mencapai 95 tahun. Dengan demikian, jika tanah sudah terdaftar HGUnya oleh investor, maka masyarakat sekitar yang mau memiliki HAT atas tanah tersebut harus menunggu maksimal 190 tahun, yang mana logikanya generasi sudah pasti berganti. Yang menambah sulitnya perpindahan HAT adalah IKN menjadi aktor utama yang diprioritaskan untuk membeli tanah di IKN yang dijual. Jadi, selain harus menunggu paling lama 190 tahun, pihak lain yang mau mengklaim HAT juga harus didahului oleh Otorita IKN.

Jika dibandingkan dengan bagaimana masyarakat adat pada umumnya berusaha memperoleh pengakuan atas wilayah adatnya, proses dan dinamikanya justru lebih rumit. Tanpa adanya pengadaan tanah untuk IKN pun, masyarakat adat mengalami tantangan untuk pengakuannya, seperti rumitnya birokrasi dan kurangnya “political will” pemerintah daerah setempat untuk memberikan pengakuan (Katodiharjo, 2022). Selain itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika juga menyampaikan bahwa sebelum adanya IKN, Kalimantan Timur telah banyak terjadi tumpang tindih wilayah adat atau masyarakat dengan perkebunan, tambang, hingga hutan tanaman industri negara (cnnindonesia.com, 10/8/2024).

Hak properti dari masyarakat adat dan masyarakat setempat seharusnya menjadi perhatian dalam isu pengadaan tanah. Mengingat salah satu prinsip IKN sebagai Kota Bhineka Tunggal Ika yang mengedepankan ”100% integrasi seluruh penduduk, baik penduduk lokal maupun pendatang” (ikn.go.id, 21/8/2024), sudah seharusnya pengakuan masyarakat adat dan perlindungan untuk masyarakat adat dan lokal diutamakan, bahkan sebelum IKN dibangun. Dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022 tentang Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara telah dijabarkan langkah-langkah detail yang perlu dilakukan dalam keterkaitannya dengan pengadaan tanah, konflik sosial, dan pemenuhan hak untuk masyarakat yang terdampak.

Namun, dari laporan Saiduani Nyuk, Ketua Badan Pelaksana Harian Wilayah Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Timur, disampaikan bahwa masih ada kejadian kriminalisasi terhadap sembilan orang petani dari Kelurahan Pantai Lango, Kecamatan Penajam. Masyarakat adat terdampak juga sudah tidak bisa mengakses lahannya untuk penghidupan tanpa disertai jaminan pengakuan atas masyarakat dan wilayah adatnya (cnnindonesia.com, 10/8/2024). Hal ini menunjukkan komitmen yang setengah-setengah dari pemerintah, terutama Otorita IKN, dalam menjunjung hak masyarakat adat dan cita-cita ’hidup berdampingan’ yang selama ini digadang-gadang menjadi masa depan IKN.

Dari sinilah lahir slogan “Indonesia Is Not for Sale” di mana tanah di IKN ’dijual’ pada investor dengan waktu yang sangat lama untuk menarik pemasukan, namun mengabaikan kepentingan dan hak kepemilikan rakyat. Bahkan, dengan skema dan aturan yang ada, hal ini juga tidak menyisakan kesempatan untuk masyarakat lokal terutama masyarakat adat untuk mendapat hak atas tanahnya dan memanfaatkan hak kepemilikannya. Kekhawatiran dan ketakutan masyarakat adat dan lokal jelas tervalidasi karena kebijakan ini.

Maka dari itu, pengakuan masyarakat adat dan proses perpindahan yang layak dan mengedepankan hak kehidupan layak dan hak kepemilikan untuk masyarakat lokal harus dikedepankan. Hal ini seharusnya dilakukan sejak awal IKN akan berdiri. Sudah terlambat, namun masyarakat adat dan masyarakat lokal tetap membutuhkan perlindungan akan haknya. Pemerintah saat ini dan terutama pemerintahan baru mendatang dan juga DPR RI selaku pembentuk UU harus mengubah UU IKN dan peraturan pelaksananya yang memberikan rangkaian HAT dengan jangka waktu tidak masuk akal pada investor dan  menjamin hak properti dari masyarakat adat dan lokal yang telah lebih dahulu menempati lahannya.

Jika memang IKN dicita-citakan untuk menjadi kota yang Bhineka Tunggal Ika, maka hal-hal ini perlu diterapkan dan komunikasi semua pihak perlu dioptimalkan, karena jelas “Indonesia is not for sale!”.

 

Christina Clarissa Intania

Peneliti Bidang Hukum

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

christina@theindonesianinstitute.com

Komentar