Beberapa waktu lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis nama-nama calon anggota legislatif (caleg) yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Berbagai komentar bermunculan, baik itu positif maupun negatif. Nama-nama yang disebutkan dalam daftar ICW tersebut tentu saja mengecam rilis tersebut karena dianggap menebar fitnah.
ICW dalam menyusun daftar tersebut menggunakan lima indikator. Pertama, mantan narapidana kasus korupsi. Kedua, caleg yang pernah disebut namanya dalam fakta persidangan perkara tindak pidana korupsi. Ketiga, caleg petahana yang sebelumnya pernah dijatuhi hukuman oleh Badan Kehormatan (BK) DPR RI. Keempat, caleg yang pernah memberikan pernyataan tidak mendukung pemberantasan korupsi. Kelima, caleg petahana yang ingin merevisi UU KPK.
Isu yang digulirkan ICW jelang penetapan Daftar Calon Legislatif Tetap (DCT) untuk Pemilu tahun 2014 ini tentu menjadi bola panas yang dapat dipolitisasi oleh berbagai pihak. Tidak mengherankan juga jika publik mempertanyakan maksud ICW merilis daftar tersebut. Jika maksudnya adalah memberikan kritik terhadap caleg tersebut, maka memberikan label sebagai orang yang “tidak pro pemberantasan korupsi” berdasarkan indikator yang ditetapkan sepihak adalah kurang tepat.
Label yang diberikan ICW terhadap nama-nama caleg tersebut di satu sisi dapat memberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih cermat memilih wakil mereka caleg dalam pemilu mendatang. Namun demikian, di sisi yang lain labeling tersebut secara tidak langsung memberikan tuduhan bahwa caleg tersebut jika menjabat menjadi anggota DPR periode mendatang dapat mengganggu pemberantasan korupsi atau bahkan berpotensi korupsi.
Daftar yang di rilis oleh ICW tersebut sebaiknya harus diverifikasi kembali oleh masyarakat. Bukankah pemilih yang baik benar-benar mencari profil caloin wakil rakyat secara objektif dan berimbang? Rilis ICW dapat menjadi salah satu pertimbangan untuk mengenal lebih jauh profil calon wakil rakyat, namun tidak dapat dijadikan satu-satunya acuan.
Terhadap nama-nama caleg yang disebut dalam daftar tersebut, hal ini dapat dianggap sebagai sarana kritik komunitas masyarakat sipil. Jika dianggap tidak tepat maka harus dibantah melalui mekanisme yang mencerdaskan juga. Kriminalisasi terhadap beberapa peneliti ICW dianggap kurang tepat, karena ada banyak sarana lain untuk membantahnya semisal membuat diskusi publik yang membedah rilis ICW tersebut.
Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, alangkah baiknya asas praduga tidak bersalah tetap dikedepankan sampai yang bersangkutang divonis melakukan tindak pidana korupsi oleh pengadilan. Pemberian label “koruptor” terhadap calon pejabat publik tentu bukan sesuatu yang bijak, namun demikian kriminalisasi terhadap kritik yang disampaikan oleh masyarakat sipil juga bukan langkah yang tepat bagi seorang calon pejabat publik.
Menjelang pemilu yang akan dihelat tahun depan, sebaiknya semua pihak melakukan edukasi kepada pemilih dengan cara yang bijak dan simpatik. Saling memberikan label dan kriminalisasi atas nama hukum dapat membuat masyarakat semakin bingung dengan kondisi calon wakil mereka, atau bahkan bingung dengan banyak pihak yang mengatasnamakan publik.
Asrul Ibrahim Nur – Peneliti Yunior Bidang Hukum The Indonesian Institute. asrul.ibrahimnur@yahoo.com