Menguji Materi Cuti Kampanye Petahana

Pada Rabu 31 Agustus 2016, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan uji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Pemohon dalam perkara teregistrasi Nomor 60/PUU-XIV/2016 tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) (www.mahkamahkonstitusi.go.id, 31/08/16).

Sebelumnya pada sidang pendahuluan permohonan uji materiil UU Pilkada (22/08/16) tersebut, Mejelis menilai masih ada beberapa hal di dalam pokok-pokok permohonan yang masih belum lengkap sehingga harus diperbaiki. Di antaranya mengubah obyek permohonan dan memperkuat legal standing pemohon termasuk di dalamnya pemaparan soal kerugian konstitusional atas berlakunya suatu undang-undang.

Dalam sidang perbaikan uji materiil UU Pilkada, Ahok telah memperbaiki beberapa materi permohonan meliputi, pertama, memperjelas pasal yang diujikan yakni Pasal 70 ayat (3) huruf a. Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada mengatur bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Kedua, Ahok menajamkan legal standing pemohon yakni sebagai warga negara yang saat ini sedang menjabat sebagai Gubernur DKI. Ketiga, Ahok menambahkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) sebagai batu uji konstitusionalitas Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada yang mengatur cuti diluar tanggungan negara selama masa kampanye bagi calon petahana (cuti kampanye) (www.mahkamahkonstitusi.go.id, 31/08/16).

Ketentuan mengenai cuti kampanye bagi petahana atau pejabat yang menjabat, bagi Ahok mengekang haknya sebagai warga negara. Ahok pada dasarnya tidak ingin meninggalkan kewajibannya sebagai Gubernur DKI Jakarta terutama dalam hal pembahasan dan menjaga RAPBD DKI Jakarta 2017. Apalagi cuti kampanye tersebut kurang lebih akan menyita waktu Ahok selama 4 bulan jika hanya satu putaran (26 Oktober 2016-11 Februari 2016). Ahok, menurut berita yang berkembang diberbagai media, menyatakan memilih tidak akan berkampanye pada Pilkada Serentak 2017.

Oleh sebabnya Ahok mengajukan permohonan uji materiil Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada tersebut, untuk meminta tafsir MK apakah cuti kampanye ini bersifat wajib ataukah opsional bagi calon petahana meskipun calon petahana tersebut memilih untuk tidak kampanye.

Mayoritas memandang bahwa cuti kampanye bagi calon petahana adalah wajib. Alasannya supaya calon petahana tersebut tidak menggunakan fasilitas negara saat kampanye. Namun persoalannya bagaimana dengan calon petahana yang memilih untuk tidak melakukan kampanye, apakah kemudian cuti kampanye tetap harus dilakukan bagi calon petahana atau tidak?

Sebagian pihak merasa seharusnya cuti kampanye ini sifatnya adalah opsional karena dalam pengertian dasarnya cuti merupakan hak bukan kewajiban. Selain itu, jika dikaitkan dengan alasan penyalahgunaan kekuasaan, masalah ini semestinya bukan dibebankan kepada kepala daerah melainkan badan pengawas pemilu (bawaslu) yang sebetulnya memiliki peran besar untuk mengawasi jalannya proses pemilu yang adil dan jujur serta demokratis.

Sementara menurut sebagian pihak yang lain seperti Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfuf MD, cuti kampanye bagi calon petahana saat kampanye Pilkada tetap wajib dilakukan. Mahfud mengkategorisasikan cuti menjadi tiga kelompok, yaitu hak, kewajiban, dan larangan. Cuti masuk kategori hak yaitu bagi karyawan yang setiap tahun mendapat jatah 12 hari cuti. Hak itu dapat ditagih apabila perusahaan tidak memberikannya.

Sementara untuk cuti yang dilarang, misalnya, jika ada bencana di suatu daerah, maka kepala daerah tidak boleh mengajukan cuti. Cuti baru bisa diajukan setelah persoalan yang terjadi selesai. Sedangkan untuk cuti yang masuk kewajiban, Mahfud MD mencontohkan, cuti diluar tanggungan negara (nasional.kompas.com, 22/08/16).

Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi berpandangan sama dengan Mahfud MD bahwa cuti kampanye merupakan suatu kewajiban. Sebab menurut Jimly keharusan cuti yang sudah diatur di dalam undang-undang, dalam hal ini UU No.10/2016, sifatnya tidak lagi menjadi hak melainkan suatu kewajiban (nasional.kompas.com, 08/08/16).

Pada peraturan lama bahkan calon petahana harus mundur enam bulan sebelum pencalonan. Hingga pada akhirnya MK mengabulkan gugatan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP pada tahun 2008 dengan mengganti kewajiban mundur menjadi cuti.

Penulis sendiri setuju bahwa cuti bagi calon petahana wajib dilakukan. Alasannya adalah calon petahana yang tidak cuti pada masa kampanye memiliki pengaruh besar terhadap jalannya demokrasi. Sebab calon petahana dapat saja memanfaatkan posisinya sebagai kepala daerah yang sedang menjabat untuk mempengaruhi pemilih selain juga berpotensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Potensi ini bisa terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun beberapa pihak, dalam kasus Ahok, menjamin bahwa tidak ada motif penyalahgunaan kekuasaan oleh Ahok apabila tidak mengambil cuti kampanye. Namun persoalan ini menurut Penulis tidak hanya menyangkut Ahok, melainkan menyangkut sistem pemilu kita kedepan. Kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) tidak hanya ditujukan kepada Ahok sebagai calon petahana melainkan semua calon petahana lainnya.

Selain itu, kita juga perlu memahami persoalan kampanye secara utuh. Kampanye pada dasarnya merupakan satu pilar pemilu demokratis. Melalui kampanye, misalnya dalam Pilkada, sebelum menentukan pilihan pemilih berhak mengetahui visi, misi, dan program dari calon yang akan dipilih. Sehingga kampanye dapat dikatakan sebagai sarana pembelajaran politik yang efektif untuk masyarakat dan juga sebagai unsur penting dalam proses penyelenggaraan suksesi kepemimpinan. Dengan demikian tidak berlebihan menurut Penulis jika kita memahami bahwa kampanye tidak hanya menyangkut kepentingan calon, melainkan juga merupakan hak bagi pemilih. Hal ini sejalan dengan pandangan Said Salahudin, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), bahwa kampanye merupakan salah satu parameter untuk mengatakan Pilkada diselenggarakan secara berkualitas.

Secara yuridis kampanye merupakan bagian dari tahapan penyelenggaraan Pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) huruf g Perppu No. 1/2014 tentang Pilkada yang tidak diubah di dalam UU No.10/2016. Artinya kampanye, bagi siapapun calonnya baik petahana atau bukan, adalah tahapan penting untuk diselenggarakan dalam mewujudkan Pilkada yang berkualitas dalam kacamata demokrasi dan hukum. Sehingga menurut Penulis sebaiknya calon petahana tetap melaksanakan kampanye.

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar