Menggerogoti Independensi Mahkamah Konstitusi

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memutuskan sikapnya untuk tidak akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan lembaganya atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah (sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik) sebagai hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR RI, dalam Rapat Paripurna DPR ketujuh masa sidang pertama tahun sidang 2022-2023 (kompas.id, 29/9/2022). Penggantian Aswanto sebagai hakim konstitusi menjadi sebuah persoalan hukum dan konstitusi di Indonesia untuk saat ini.

Merujuk pada pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto menjelaskan alasan DPR RI setuju Hakim Konstitusi Aswanto digantikan oleh Sekjen MK Guntur Hamzah. Pergantian tersebut merupakan bentuk evaluasi DPR RI terhadap kinerja Aswanto. Bambang mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja Aswanto ketika menjadi hakim konstitusi yang menganulir produk undang-undang yang dibuat oleh DPR RI. “Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu sebagai owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu nggak sesuai direksi, owner, ya, gimana. Gitu toh. Kan kita dibikin susah,” ungkap Bambang Wuryanto (republika.co.id, 30/9/2022).

Terdapat kekeliruan dari logika berpikir salah satu anggota DPR RI yang menganggap bahwa hakim konstitusi yang diusulkan oleh lembaganya merupakan perwakilan mereka di MK. Ketika logika salah ini tetap dipertahankan, maka independensi MK sudah patut untuk dibuang atau bahkan mungkin bisa dipertimbangkan untuk dibubarkan. Salah satu tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah “mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Ketika tiga hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR RI dianggap sebagai perwakikan mereka di MK, maka the guardian constitution ini hanya akan berakhir menjadi lembaga yang melegalisasi produk undang-undang dari DPR RI.

Jimmly Asshiddiqie (2015) menjelaskan bahwa keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam rekrutmen hakim konstitusi bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara tersebut dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas MK dalam hubungan antar lembaga negara. Penjelasan Jimmly terkait dengan mekanisme pengusulan hakim konstitusi oleh tiga cabang kekuasaan merupakan sebuah langkah untuk mencegah terjadinya tarik menarik kepentingan, namun pada perkembangannya malah lembaga pengusul menganggap bahwa hakim konstitusi merupakan “bawahan” yang harus tunduk pada kepentingan mereka.

Momentum ini dapat dijadikan sebagai titik balik dalam melakukan perubahan terhadap mekanisme pemilihan hakim konstitusi di Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dapat mengusulkan dilakukannya amandemen UUD 1945 secara terbatas hanya melakukan pembahasan terkait dengan ketentuan pemilihan hakim konstitusi pada Pasal 24C UUD 1945. Pemilihan hakim MK dapat dilakukan melalui sebuah panitia khusus yang bersifat independen dengan beranggotakan perwakilan mantan hakim konstitusi terdahulu, akademisi hukum tata negara, Presiden, DPR RI, dan Mahkamah Agung. Melalui pembaruan mekanisme pemilihan sembilan hakim konstitusi tersebut, diharapkan proses pemilihannya dapat dilakukan secara berintegritas, transparan, dan tanpa intervensi kepentingan politik.

 

Hemi Lavour Febrinandez

Peneliti Bidang Hukum

hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar