Kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan minimnya infrastruktur merupakan sedikit potret dari realitas pembangunan yang terjadi di kawasan perbatasan. Kondisi yang memaksa penduduk menjadi terisolir sudah berjalan dalam jangka waktu yang tidak sebentar di daerah tersebut. Tidak heran jika acapkali dijumpai sumber daya yang tersedia di wilayah perbatasan tidak dapat digunakan secara optimal.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan beberapa negara, memiliki setidaknya 39 kabupaten/kota yang berada di posisi terluar yang masuk kedalam katagori wilayah tertinggal. Beberapa dari daerah tersebut berada di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana memiliki perbatasan darat dengan negara-negara tetangga.
Bappenas telah mencoba membandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara tetangga di wilayah perbatasan. Hasil yang didapat mengungkapkan bahwa kawasan perbatasan Indonesia di NTT kondisinya masih sedikit lebih baik dengan kondisi serupa di Timor Leste. Sedangkan perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini menunjukan kondisi yang hampir serupa. Akan tetapi tidak untuk perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Terlihat bahwa Pemerintah Malaysia jauh lebih memperhatikan kondisi wilayah perbatasannya.
Liputan khusus yang telah banyak dilakukan oleh media dalam negeri memuat bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang melakukan aktivitas ekonomi di negara tetangga. Sering pula tersorot bahwa di daerah tersebut jamak ditemukan transaksi yang tidak menggunakan Rupiah. Belum lagi aktivitas-aktivitas ilegal lainnya seperti keluar masuk perbatasan secara bebas yang tidak mengikuti prosedur yang berlaku.
Kegiatan-kegiatan seperti ini tentu berpotensi menciptakan kerugian bagi perekonomian negara karena aktivitas ekonomi yang seharusnya dapat dilakukan di dalam negeri cenderung berpindah ke tempat lainnya. Namun masyarakat yang menghuni wilayah perbatasan tidak serta merta dapat disalahkan. Kondisi yang sedemikian ini membuat mereka tidak memiliki pilihan lainnya untuk sekedar dapat bertahan hidup.
Di era pemerintah sebelumnya, kondisi daerah perbatasan sudah sering kali menjadi perbincangan publik. Akan tetapi penulis menilai bahwa dalam era tersebut tidak ada program yang berarti, yang signifikan menciptakan peluang-peluang ekonomi baru bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan. Kegiatan yang ada hanya berkisar pada program sosial kemasyarakatan yang banyak dilakukan oleh TNI.
Hingga pada saat ini, tanpa bermaksud untuk membandingan dengan kepemimpinan sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah mulai memperhatikan kondisi wilayah perbatasan. Seperti yang dilansir oleh Kantor Staf Kepresidenan bahwa pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan sudah mulai dikebut pengerjaannya. Nyatanya, spesifik dalam kasus ini, memang harus diapresiasi tekad pemerintah untuk menghadirkan negara bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Implementasi dari rencana pembangunan perbatasan kini sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019. Dengan kondisi ini setiap Kementerian/Lembaga diwajibkan membuat rencana strategis untuk mencapai target pembangunan perbatasan di RPJMN. Dalam program pembangunan perbatasan, 10 daerah akan dikembangkan menjadi Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187 kecamatan perbatasan telah masuk menjadi lokasi prioritas pembangunan pemerintah.
Menurut Progress Report Jalan Perbatasan, di Kalimantan panjang jalan total yang sudah berhasil dibuat sudah mencapai 441,7 km. Hal ini masih memerlukan 329,66 km tambahan sesuai dengan janji yang sudah dibuat pemerintah. Di NTT hingga akhir tahun 2015 pemerintah telah menyelesaikan setidaknya 47 km jalan raya. Sedangkan di Papua, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga telah merampungkan pengerjaan jalan sepanjang 4.325 km. Kegiatan pembangunan infrastruktur ini tentunya masih akan berlanjut hingga dua tahun mendatang (ksp.go.id., Agustus,2015).
Secara teoritis daerah yang ditetapkan sebagai PKSN akan didorong untuk menjadi kawasan perkotaan yang dapat mendorong pengembangan kecamatan perbatasan di sekitarnya. Penelitian dengan judul Socio-Economic Impact of Infrastucture Investment karya Snieska dan Simkunaite (2009) telah menampilkan bukti empirik bahwa infrastruktur telah memainkan peran yang sangat penting, tidak hanya bagi masyarakat secara umum, tetapi juga membangkitkan gairah bisnis di lingkungan infrastruktur tersebut dikerjakan.
Alhasil dengan pengerjaan yang cukup masif ini diharapkan bahwa daerah-daerah perbatasan tidak lagi dependent dengan wilayah lain, melainkan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi negara dan mampu membantu daerah di sekitarnya dalam mengakselerasi tercapainya kapasitas ekonomi yang efisien di wilayah tersebut.
Janji kampanye Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam poin ketiga Nawacita berbunyi bahwa pemerintah akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dengan janji ini, daerah diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya, melainkan juga dapat membantu pemerintah dalam mereduksi angka ketimpangan antar wilayah.
Kondisi yang ada di kemudian hari juga diharapkan dapat menarik investor-investor baru dalam rangka menciptakan pertumbuhan ekonomi di wilayah perbatasan. Situasi infrstruktur yang sudah memadai diharapkan dapat menjemput bola ekonomi baru yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat perbatasan yang sudah lama berpuasa dari keuntungan ekonomi.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com