Mengintip Isu dan Tantangan Fiskal

Pesta demokrasi telah digelar. Indonesia kini sedang menanti hasil penghitungan suara secara real yang akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, sebelum jauh melangkah, penulis ingin (kembali) menyampaikan isu dan tantangan perekonomian yang harus dikerjakan oleh pemimpin Indonesia selanjutnya.

Salah satu isu dan tantangan yang paling krusial adalah urusan fiskal. Sebagaimana kita ketahui bersama, fiskal merupakan instrumen yang dijadikan senjata oleh pemerintah berjalan untuk memenuhi target dan cita-cita pembangunan Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Visi-Misi Capres yang nantinya akan di breakdown dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Agaknya kita harus segera menyibak isu dan tantangan fiskal ke depan yang akan menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden selanjutnya.

Menengok Kinerja Perpajakan

Muhamad Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Isu dan tantangan kinerja perpajakan pemerintah Indonesia menjadi menu pembuka dalam menyoal fiskal. Jika kita menengok kinerja pajak, tentu kita akan mengarah ke indikator yang mengukur kinerja perpajakan, yaitu Tax Ratio.

Per definisi, tax ratio merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dalam kurun waktu tertentu, umumnya satu tahun. (Kemenkeu, 2019).

Gambaran sederhananya seperti ini, PDB adalah nilai total keseluruhan barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara dalam kurun waktu satu tahun. Pajak hanyalah instrumen fiskal yang digunakan untuk menarik dan mengalihkan sebagian nilai tersebut menjadi penerimaan negara yang yang diatur berdasarkan Undang-Undang.

Kita lihat kinerja perpajakan dari indikator tax ratio, tercatat selama periode 2012-2018 tax ratio Indonesia mengalamai tren penurunan. Pada tahun 2012, Tax Ratio Indonesia mampu menyabet angka 14,6 persen, namun pada tahun-tahun berikutnya angka ini terus tergerus hingga 1-2 persen setiap tahunnya (Kemenkeu, 2018). Bahkan di tahun 2016 dan 2017, tax ratio hanya mampu membukukan pencapaian sebesar 10,8 – 10,7 persen, dimana angka ini merupakan angka ‘jeblok’ dari capaian tax ratio di tahun-tahun sebelum dan sesudahnya. Kendati demikian, angin segar sempat berhembus. Pada tahun 2018, tax ratio Indonesia mengalami kenaikan menjadi 11,5 persen. Namun, pencapaian tax ratio tersebut masih jauh dari target tax ratio yang diagendakan dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 15,2 persen pada tahun 2018.

Jika dihitung secara rata-rata, tax ratio Indonesia hanya mencapai 12.45%. Tentu tax ratio ini pun menjadi isu dan tantangan yang harus dilewati oleh presiden terpilih nantinya. Kredibilitas pemimpin Indonesia selanjutnya pun dipertaruhkan untuk mencapai target yang selanjutnya akan dibuat.

Jika kita selidiki lebih dalam, disinyalir rendahnya tax ratio Indonesia disebabkan karena kecilnya elastisitas pertumbuhan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (tax buoyancy).  Data tax buoyancy Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan angka sebesar 2,56 persen. Angka ini menjadi angka tertinggi jika dibandingkan beberapa tahun sebelumnya yang hanya mencapai kisaran 0.48 – 1,22 persen sepanjang periode 2012 – 2018 kemarin.

Rendahnya indikator tax buoyancy ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya tingkat kepatuhan membayar pajak dan terjadinya aktivitas shadow economy yang menyebabkan kebocoran pajak misalnya, Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang disimpan di luar negeri, tax competition,dan pajak terutang tidak dibayar.

Selanjutnya, jika kita lihat bahwa penerimaan pajak masih belum optimal. Hal ini tercermin dari shortfall pajak yang masih terjadi. Per definisi, shortfall adalah kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan. Hematnya, dalam konteks penerimaan pajak, shortfall sering terjadi ketika realisasi penerimaan pajak dalam satu tahun kurang dari target penerimaan pajak.

Jika kita menengok data realisasi penerimaan pajak, pada tahun 2016 realisasi pajak Indonesia menunjukkan angka sebesar 83,3 persen. Kemudian, angka ini sedikit meningkat pada tahun 2017 menjadi 91,23 persen, dan tahun 2018 diperkirakan sebesar 94,02 persen. Kendati angka ini sudah berangsur-angsur membaik, namun hal masih menjadi tantangan bagi pemerintahan selanjutnnya untuk menjaga kredibilitas dalam mebuat rencana dan kebijakan guna merealisasikan rencananya tersebut.

Dari persoalan fiskal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah fiskal adalah salah satu pekerjaan rumah yang akan hadapi oleh pemerintah selanjutnya. Banyak tantangan yang harus diselesaikan dan juga ada harapan banyak perubahan yang akan diberikan ke depannya. Sekali lagi, kontestasi politik harus dijadikan peluang untuk membawa perubahan yang jauh lebih baik bagi Indonesia ke depan ditengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.

 

Muhamad Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar