Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Pada momen 1 Juni 2022 ini, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengambil tema peringatan, yakni “Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia”. Hal tersebut merupakan tema yang relevan setelah negeri ini dan negara-negara lain di seluruh dunia terdampak oleh pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir. Namun, selain dampak pandemi, sesungguhnya yang menjadi tantangan lain yang kita hadapi di negeri ini adalah persoalan berkembangnya sikap intoleransi. Hal ini juga menyebabkan maraknya pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan di Indonesia.
Berdasarkan data survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan September 2019, ditemukan bahwa 37,2 persen responden muslim setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan Muslim mayoritas. Selanjutnya, 67,4 persen responden Muslim setuju/sangat setuju pemerintah mengutamakan agama Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara karena Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Kemudian, sebanyak 53 persen warga Muslim keberatan jika orang Non-Muslim membangun tempat peribadatan di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan, hanya 36,8 persen warga Muslim yang menyatakan tidak keberatan (cnnindonesia.com, 3/11/2019). Selanjutnya, berdasarkan survei Wahid Institute, tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, dari sebelumnya sekitar 46%, dan saat ini menjadi 54% (mediaindonesia.com, 18/1/2020). Meningkatnya sikap intoleransi berjalan lurus dengan tingkat pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Setara Institute dalam laporan tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di tahun 2021, mencatat terdapat 171 peristiwa pelanggaran dan 318 tindakan pelanggaran. Dari data KBB tahun 2021, diketahui bahwa tiga isu pelanggaran KBB yang dominan dilakukan oleh aktor negara adalah: diskriminasi (25 kasus), kebijakan diskriminatif (18 kasus), penersangkaan penodaan agama (8 kasus). Sementara, enam isu pelanggaran KBB yang dominan dilakukan oleh aktor non-negara adalah intoleransi (62 tindakan), ujaran kebencian (27 kasus), penolakan pendirian tempat ibadah (20 kasus), pelaporan penodaan agama (15 kasus), penolakan kegiatan (13 kasus), penyerangan (12 kasus), dan perusakan tempat ibadah (10 kasus). Tren ini masih serupa dengan data KBB Setara Institute tahun 2020, di mana pelarangan kegiatan, gangguan rumah ibadah, dan tuduhan penodaan agama merupakan tiga isu dominan (Setara Institute, 2022).
Di tahun 2021, pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh kepolisian (16 tindakan) dan pemerintah daerah (15 tindakan). Pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh kelompok warga (57 tindakan), individu (44 tindakan), dan organisasi masyarakat/ormas (22 tindakan) (Setara Institute, 2022).
Melihat data-data di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa persoalan intoleransi masih menjadi ancaman yang terus berkelindan di negeri ini. Masih maraknya persoalan intoleransi disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama, persoalan regulasi yang bermuatan intoleransi dan bertentangan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Regulasi yang bermuatan intoleransi salah satunya seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Faktanya, PBM 2006 seringkali menjadi pegangan bagi kelompok intoleran untuk menghalangi pendirian rumah ibadah kelompok minoritas di negeri ini. Sudah semestinya PBM 2006 dievaluasi guna menghilangkan intoleransi, khususnya dalam pendirian rumah ibadah.
Selain PBM 2006, terdapat regulasi yang bertentangan dengan norma kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dijamin dalam hukum hak asasi manusia. Di antaranya adalah pasal tentang penodaan agama (blasphemy) yang diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian di ranah digital terdapat Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45A ayat 2 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) (https://imparsial.org/, 14/4/2022).
Faktor kedua adalah lemahnya penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum menjadi faktor lain yang menyebabkan intoleransi masih ada di negeri ini. Pembiaran terhadap kelompok intoleran menjadi wujud lemahnya penegakkan hukum dalam perlawanan terhadap intoleransi di negeri ini.
Oleh karena itu, melihat persoalan di atas, sangat jelas bahwa perlawanan terhadap intoleransi harus serius untuk dilakukan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan, yakni pertama, mendorong Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan evaluasi dan menghapus peraturan-peraturan baik di tingkat pusat dan daerah yang bermuatan intoleran.
Kedua, mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Sikap yang menghargai dan menghormati perbedaan merupakan sikap yang sangat penting untuk tersampaikan dan terinternalisasi kepada generasi muda kita saat ini.
Ketiga, mendorong Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum bagi kelompok maupun individu yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk menyebarkan ujaran kebencian serta pandangan radikal yang dilakukan melalui media sosial dan lebih jauh mengakibatkan tindak kekerasan dan korban.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program