Pasca terpilih lagi menjadi Presiden untuk periode 2019-2024, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum terbuka dalam menentukan siapa saja bakal calon Menteri yang akan mendampingnya untuk 5 tahun ke depan. Hal ini tentu saja menjadi sorotan berbagai kalangan.
Alih-alih membuka siapa saja bakal calon menterinya, Presiden Jokowi nampaknya masih fokus berkeliaran ke daerah-daerah melakukan kunjungan kerja dan meresmikan berbagai infrastruktur. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan, tidak hanya bagi kalangan partai yang mulai kasak-kusuk apakah akan mendapatkan jatah Menteri atau hanya menjadi pelengkap koalisi saja.
Kendati masih malu-malu, namun nampaknya pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin saat ini tengah menggodok soal pembentukan Kabinet Kerja Jilid 2 untuk periode 2019-2024.
Sebab menurut perkiraan, saat ini sudah mulai masuk nama-nama calon Menteri, hanya saja ini dibuat dalam diam. Artinya tidak boleh ramai dan mengemuka di publik. Sebab akan sangat sensitif ketika menyangkut nama-nama yang sudah diumumkan, namun kemudian diurungkan karena satu alasan dan lain hal.
Keterlibatan partai politik, dan para pendukung militan Presiden Jokowi dikhawatirkan akan saling jegal untuk mendapatkan posisi menteri di Kabinet Kerja Jilid II ini. Belum lagi rumor masuknya beberapa partai pendudukung oposisi yang juga berambisi untuk mendapatkan jatah kue kekuasaan kendati pada putaran pilres tidak sejalan dengan Jokowi.
Dinamika politik yang tidak kenal kawan dan lawan dan bisa berubah dengan cepat sesuai dengan kepentingan dan kong kalikong kedekatan dengan kekuasaan. Membuat semua yang Partai dan pendukung militan Jokowi tengah was-was apakah dukungan akan mendapat balasan sesuai dengan kerja kerasnya.
Pekerjaan Rumah Jokowi Dibidang EKonomi
Ekonom The Indonesian Institute, M. Rifki Fadilah menginventarisir bahwa Kabinet Kerja Jilid II nanti bukan hal yang tanpa tantangan. Pasalnya, kondisi perekonomian di lima tahun pertama mendapatkan sorotan dan kritik pedas dari banyak kalangan.
Menurutnya, yang menjadi pekerjaan besar Kabinet Jilid II perbaikan kuantitas pertumbuhan ekonomi pasalnya untuk menjadi pertumbuhan ekonomi diatas 7 Persen. Sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini (1999 hingga 2018) menunjukkan angka yang stagnan diangka 5,27 persen year on year (yoy).
“Kita lihat data dari BPS, pertumbuhan ekonomi kita cenderung stagnan diangka 5 Persen. Oleh karena itu, agar segera keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), pertumbuhan ekonomi setidaknya harus menggapai 7 persen,”katanya di Jakarta (2/8/2019).
Harapan besar masyarakat Indonesia khususnya petani adalah harga komoditas pertanian mulai dari kopi, damar, karet, hingga sawit bisa mendapatkan harga jual sesuai dengan harapan dan kerja keras petani. Nelayan ingin harga ikan tangkapannya harga jualnya naik dan mendapatkan penghargaaan.
Hal ini yang belum mampu diwujudkan oleh tim ekonomi di Kabinet Kerja Jokowi di Jilid Pertama. Sebab tidak berbanding lurus dengan kenaikan gaji PNS misalnya yang lebih dimanjakan Jokowi.
Sehingga kerja keras tim ekonomi Jokowi Jilid I harus diwujudkan dalam kabinet Kerja Jokowi di Jilid Kedua nanti. Memang tidak mudah tapi saya rasa ini bisa dicapai asalkan para calon Menteri bidang perekonomian memiliki perencanaan yang jelas, strategis, dan terarah untuk menuju growth 7 persen.
Belum lagi secara nasional rasio gini Indonesia turun, tetapi kalau lebih seksama lagi kita lihat ada sebuah anomali yang terjadi. Misalnya sejak September 2016, rasio gini di perdesaan terus merangkak naik hingga menyentuh angka 0,324 pada Maret 2018 atau naik 0.004 dibandingkan Maret 2017 yang hanya sebesar 0.320. Selain itu, mengingatkan ada tantangan dari sektor luar negeri yang patut menjadi perhatian bersama.
“Terakhir, kita juga tidak boleh lengah dengan masalah neraca transaksi berjalan yang selalu defisit. Neraca dagang dibebani oleh tingginya impor minyak dan gas sehingga nilai surplusnya tidak kuasa menutup defisit neraca jasa. Imbasnya, perekonomian bergantung pada arus dana dari neraca modal dan neraca finansial yang mudah sekali berpindah,”jelasnya.
Adapun pekerjaan rumah yang harus dikejar oleh calon-calon Menteri bidang perekonomian Jokowi Jilid 2. Perlu adanya kebijakan yang saling mendukung satu sama lain. Dengan sinergitas mengambil kebijakan dalam tantangan bidang ekonomi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic, Mohamad Faisal mengatakan sejatinya Menteri milenial di Kabinet kedua memang dibutuhkan tapi Presiden Jokowi sebagai pemilik hak prerogatif dalam mengangkat pembantu-pembantunya tersebut. Pasalnya, jangan sampai salah memilih sebab tangungjawab seorang Menteri berada dilevel kebijakan.
Menurutnya yang diperlukan dalam mengangkat pembantu seorang Menteri, sebab yang dibutuhkan paling utama dari seorang Menteri adalah pengalaman dan kemampuan dalam bersinergi dengan Kementerian lain.
“Saya tidak melihat dari sisi milenialnya tapi dari sisi komprehensinya kalau milenialnya memang orang yang punya potensi bagus dari sisi kapasitas teknis dan dari sisi pengalaman dalam arti wisdom ini bisa saja. Tapi ada atau tidak, dan ke Kementerian yang lain,”katanya di Jakarta (30/7/2019).
Faisal mengatakan seorang Menteri harus benar-benar dipilih yang memiliki kemampuan dalam mengeksekusi sebuah kebijakan. Kendati dari sisi usia masih sangat muda, sebab untuk memimpin sebuah Departemen tidak hanya dibutuhkan wawasan dan pengetahuan dari sisi digitalisasi ekonominya saja. Namun lebih kepada kemampuan memimpin dan berpikir strategis untuk mengeksekusi kebijakan.
“Maksud saya harus benar-benar dipilih bukan asal milenaial dan dia (Milenial) yang memamg punya kompetensi untuk bisa memimpin suatu departemen. Jadi bukan hanya kemampuan teknis wawasan ekonomi digital dan sebagainya tapi juga dari sisi kemampuan memahami dan berpikir strategisnya,” tambahnya.
Faisal mencontohkan untuk memimpin sebuah Departemen seperti Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) misalnya seorang milenial masih bisa. Akan tetapi, kalau kapasitas teknis dan kemampuan dalam pengalaman untuk mengkoordinasi apalagi belum mumpuni, maka seorang milenial belum layak memimpin sebuah Kementerian.
“Apalagi Bekraf inikan multisektoral. kalau tidak punya konsep yang luas terhadap sektornya dan tidak punya kemampuan dari manajemen bisa jadi malah menghambat keluarnya kebijakan. Apalagi kalau pilihannya adalah milenial dari sisi politik saja jadi ini yang saya pikir harus hati-hati,” pungkasnya.
Sumber: Akurat.co