Mempersoalkan Pernyataan Sandiaga Uno

Wakil Gubernur DKI Jakarta yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno mengatakan, kondisi Malaysia sama persis dengan Indonesia yang akan menggelar pemilihan umum tahun depan. Dalam kacamata Sandi, pemerintahan Jokowi-JK saat ini belum dapat mengentaskan berbagai masalah ketimpangan ekonomi di masyarakat (jpnn.com, 10/5).

Menurut Sandi, hal yang sama terjadi di Malaysia selama rezim Najib Razak berkuasa. Karenanya, Sandi yakin kemenangan Mahathir di Malaysia juga akan berulang di Indonesia. Sandi yakin dengan sumbangsih dari sekretariat bersama antara PAN, PKS dan Partai Gerindra, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dapat menjadi Presiden dalam Pemilu nanti dan mengentaskan masalah tersebut (jpnn.com, 10/5).

Pernyataan Sandi langsung menuai polemik, bahkan Menteri Dalam Negeri  Tjahjo Kumolo menyesalkan pernyataan sandi yang mengkaitkan Presiden Joko Widodo dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Tjahjo mengklaim bahwa posisi Jokowi dan Najib sangat berbeda. Jokowi disebutnya tak pernah korupsi. Alhasil, Presiden tak mungkin digulingkan karena kasus yang sama dengan mantan PM Malaysia itu. (cnnindonesia.com, 31/5).

Menurut penulis, sebagai Wakil Gubernur, pernyataan Sandi telah melanggar etika seorang pemimpin publik. Hal ini merujuk pendapat Haryatmoko (2011), yang mengatakan bahwa etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik atau buruk, benar atau salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar.

Selanjutnya dalam kepemimpinan publik, ada lima prinsip kepemimpinan beretika, yakni adil (fairness), terbuka (transparency), tanggungjawab (responsibility), efisiensi (efficiency) dan tidak ada kepentingan individu (no conflict of interest) (Iwan Nugroho, 2013).

Mengingat jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang merupakan wakil pemerintah pusat dalam melaksanakan urusan pemerintahan seperti yang tercantum dalam Pasal 4 UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Seharusnya Sandi dapat mendukung program-program pemerintah dalam mengentaskan masalah ketimpangan ekonomi di masyarakat. Bukan malah menyatakan pendapat yang akhirnya menunjukkan ketidakharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah (dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta).

Selain itu dalam konteks komunikasi politik, pernyataan Sandi juga dianggap tidak etis. Karl Wallace seperti yang dikutip Johannesen (1996) menyatakan seharusnya Sandi sebagai komunikator harus menumbuhkan kebiasaan bersikap adil dalam memilih dan menampilkan fakta dan pendapat secara terbuka. Sebagai komunikator politik terlebih sebagai pejabat publik, Sandi seharusnya lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

 

Arfianto Purbolaksono – Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar