Wacana pemindahan ibu kota telah muncul pada era Presiden ke-1 Indonesia Soekarno, atau Bung Karno. Namun, perekonomian Indonesia yang terpuruk di awal 1960-an menghambat keberlanjutan wacana tersebut (www.tagar.id, 1/3/2019). Kini, di tangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi pemindahan ibu kota telah memasuki babak baru. Pulau Kalimantan telah dipilih. Upaya mewujudkan semangat Indonesia Sentris bukan impian belaka.
Dari Wacana hingga Menguatnya Rencana
Di era pemerintahan Presiden Soeharto, gagasan pemindahan ibu kota muncul kembali dengan diusulkannya daerah Jonggol, Bogor (news.detik.com, 23/1/2013). Berlanjut pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemindahan ibu kota kembali ramai (nasional.tempo.co, 30/4/2019) dan sempat dibentuk tim khusus.
Kemacetan Jakarta menjadi salah satu faktor menguatnya wacana itu. Namun, di era Presiden Jokowi ke-2, dengan menggandeng Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) barulah rencana ini mulai diwujudkan.
Pada acara Konsultasi Pusat Penyusunan Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, bertempat di Hotel Double Tree, Jakarta, Rabu, 24 Juli 2019, agenda pemindahan ibu kota masuk dalam pembahasan Isu-Isu Strategis dan Agenda Pembangunan Rancangan Teknokratik (RT) RPJMN 2020-2024 (www.liputan6.com, 24/7/2019). Hal itu disampaikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro. Dengan kata lain, pemindahan Ibukota akan dimasukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Tujuan dan Konsep Ibu Kota Baru, Belajar dari Kesuksesan Negara Lain
Intelligent Transport System (ITS) Indonesia memperkirakan, jika tidak segera diatasi maka kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta akan mencapai USD6,5 miliar atau setara Rp87,8 triliun pada 2020 (metro.sindonews.com, 22/9/2017).
Diketahui, Jakarta menempati peringkat ketiga kualitas udara terburuk di dunia (www.airvisual.com, 1/8/2019). Permasalahan yang dihadapi Jakarta begitu kompleks. Mulai dari banjir, kemiskinan, pengangguran, kepadatan penduduk dan lain sebagainya.
Secara lebih spesifik, pemindahan ibu kota pada dasarnya untuk mewujudkan terjadinya pemerataan pembangunan yang memiliki semangat Indonesia Sentris. Pulau Jawa dan Sumatera telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Namun hal ini tidak serta merta membawa perubahan bagi pulai lainnya.
Ketidakmerataan ekonomi, kesenjangan fasilitas, termasuk berbagai layanan dasar antara Pulau Jawa, Sumatera dengan Pulau lain masih begitu kentara. Pembangunan infrastruktur belum sepenuhnya diikuti laju pertumbuhan yang signifikan. Pemindahan ibu kota akan menjadi salah satu solusi jangka panjang yang tepat. Pemindahan ibu kota karena kemacetan, ketidakmerataan ekonomi dan sederet permasalahan lain juga terjadi di Korea Selatan dan Malaysia. Hal ini pula yang menguatkan keputusan Jokowi. Pemindahan ibu kota bukanlah suatu hal yang mustahil karena telah diimplementasikan oleh negara lain.
Di Korea Selatan, ibu kota berpindah dari Seoul ke Sejong. Sejong didirikan pada tahun 2007. Perpindahan kementerian/lembaga telah dimulai pada 2012 dan ditargetkan rampung pada 2030. Di Malaysia, ibu kota berpindah dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Pembangunan dan perpindahan dilakukan pada 1995-1999. Walaupun memakan waktu bertahun-tahun, namun agenda tersebut telah memberikan dampak yang signifikan.
Adanya landasan konsep juga menjadi kunci terbentuknya ibu kota baru yang tertata. Misalnya saja pemindahan ibu kota Korea Selatan, mengusung konsep garden city dan smart city dengan jargonnya “Happy City Sejong” dan Malaysia juga mengusung konsep garden city, modern, dan futuristik.
Melalui Bappenas, ibu kota baru akan memiliki konsep smart, green, and beautiful city, yang berdaya saing nasional dan internasional (finance.detik.com, 15/5/2019). Melalui konsep tersebut diharapkan pula dapat mendorong terbentuknya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, bebas dari korupsi karena mengedepankan teknologi yang menunjang transparansi.
Saatnya Mengambil Langkah Strategis, Beberapa Rekomendasi
Sekalipun agenda ini telah diketuk Jokowi, berbagai tantangan juga dihadapi sehingga beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu membuat payung hukum. Suatu kebijakan dapat berjalan jika memiliki landasan hukum yang kuat. Presiden. Pemerintah Pusat dan Daerah juga diharapkan melakukan tinjauan terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan RTRW kota/kabupaten.
Kedua, revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta perlu segera dilakukan. Adanya Undang-Undang akan menopang dan mengiringi berjalannya rencana pemindahan ibu kota ihingga implementasi pemindahan.
Pemindahan ibu kota merupakan proyek besar, menghabiskan dana yang besar, dan proses yang panjang. Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro memprediksi proses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kota lain akan menelan biaya sebesar US$23 miliar-US$33 miliar atau setara Rp323 triliun-Rp466 triliun (CNN Indonesia, 30/4/2019).
Rekomendasi ketiga yaitu,setiap perencanaan termasuk pembuatan masterplan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah harus dikawal. Dapat pula dipertimbangkan pembentukan Badan Otorita Pengelola Pemindahan Ibu Kota oleh Jokowi.
Seperti diketahui, Wakil Presiden Jusuf Kalla telah mengingatkan Jokowi mengenai bahaya lahan gambut wilayah Kalimantan (kompas.com, 30/7/2019). Pada era Presiden Soekarno, tanah gambut yang mendominasi wilayah Kalimantan misalnya di Palangkaraya dikeruk dan diganti dengan material padat oleh kontraktor Rusia (finance.detik.com, 20/7/2017).
Soekarno meminta para insinyur dan ahli konstruksi sipil asal negara tersebut untuk turut membantu pembangunan jalan tersebut dengan menggandeng masyarakat sekitar. Saat ini berbagai dukungan telah mengalir baik dari Pemerintah Provinsi Kalimantan hingga pelaku bisnis properti ternama. Dengan kata lain, rencana pemindahan ibu kota juga harus diawali dengan studi kelayakan, yang mempertimbangkan beragam aspek, termasuk aspek lingkungan.
Terakhir, rekomendasi keempat yaitu memilih aktor-aktor secara cermat, yang mampu berperan strategis, profesional dan memiliki rekam jejak baik dan bersih untuk menunjang pembangunan fisik maupun non fisik ibu kota baru. Kesiapan sumber daya manusia lokal di lokasi terpilih, dalam hal ini, juga patut dipertimbangkan.
Vunny Wijaya, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research