Melihat (Lagi) Upaya Pembenahan Birokrasi

Perkembangan dunia saat ini mendorong birokrasi berkembang menjadi organisasi modern yang bekerja secara efisien dan efektif. Diharapkan birokrasi menjadi tangguh serta siap menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal. Namun, hal ini belum sepenuhnya terjadi di Indonesia.

Hal inilah yang kemudian disoroti oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu yang lalu. Dalam pembukaan Musyawarah Nasional Korps Pegawai Negeri (Kopri) yang ke-9, Presiden Jokowi mengatakan, Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah sangat lama berada di zona nyaman. Jokowi menyebut hal itu sebagai warisan birokrasi feodal dan harus diubah secara total. Selanjutnya, Jokowi juga mengatakan bahwa seluruh sumber daya dan kewenangan yang diberikan negara kepada ASN seharusnya mampu digunakan secara akuntabel dan berdampak langsung kepada masyarakat. Kemudian, Jokowi juga mengatakan bahwa ASN sebagai bagian dari birokrasi harus mampu beradaptasi dengan perubahan dan menghilangkan ego sektoral. (kompas.com, 28/1/2022).

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut seharusnya menjadi sebuah “cambuk” bagi birokrasi yang selama ini berada di zona nyaman dan dianggap masih kurang berdampak bagi masyarakat. Gambaran ini dapat terlihat dari persepsi masyarakat yang menilai rendahnya kinerja birokrasi di Indonesia. Berdasarkan Survei Populi Center, masalah utama layanan publik yang paling banyak dikeluhkan adalah persyaratan berbelit. Itu dikeluhkan 11,4% masyarakat. Kemudian, sebanyak 11,3% responden mengatakan waktu pelayanan yang lambat menjadi masalah terbesar lainnya dalam pelayanan publik. Lalu, ada 9,7% responden yang menilai bahwa pelayanan publik kurang transparan (katadata.co.id, 20/12/2021).

Keluhan masyarakat lainnya terhadap layanan publik di dalam negeri, yaitu, birokrasi yang berbelit 9,3%, sarana dan prasarana yang tidak memadai 8,6%, biaya mahal 8,4%, pelayanan tidak sesuai   6,2%, pungutan liar 4,8%, ketidakjelasan prosedur 3,8%, tidak responsif terhadap pengaduan (3,6%), kualitas/kompetensi sumber daya manusia yang rendah (3%), dan perilaku pelayanan kurang ramah (2,7%). Selain itu, sebanyak 5,1% responden mengatakan masalah lainnya dan 12,3% responden tidak tahu/ tidak menjawab (katadata.co.id, 20/12/2021).

Selain itu, persoalan diatas akhirnya berdampak di sektor perijinan usaha. Berdasarkan data Ease of doing business (EoDB) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia tahun 2020, Indonesia masih berada di peringkat 73 dunia (indonesia.go.id, 6/4/2021). Hal ini mengindikasikan bahwa masih kurangnya efektifitas dan efisiensi birokrasi dalam pelayanan usaha menjadi persoalan di Indonesia.

Padahal perwujudan nyata dari kehadiran negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya tercermin dari penyelenggaraan pelayanan publik. Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, serta pola penyelenggaraannya. Sehingga terwujud pelayan publik yang prima sebagai bentuk kehadiran negara.

Saat ini, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjawab tantangan diatas adalah dengan melakukan penyederhanaan birokrasi di pemerintah pusat dan daerah. Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Akmal Malik mengatakan sudah ada ratusan ribu jabatan ASN di Pemda yang telah disederhanakan. Di mana terdapat 140.474 jabatan dari target 143.115 jabatan yang telah disederhanakan. Jumlah ini  setara dengan 94,86% dari 100% target penyederhanaan struktur organisasi bagi pemerintah daerah (viva.co.id, 22/12/2021) .

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo mengatakan penyederhanaan birokrasi ini diharapkan dapat mendukung adanya penguatan pelaksanaan tugas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berbasis pada keahlian atau keterampilan dalam jabatan-jabatan fungsional sebagaimana harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pelayanan publik dapat berjalan dengan baik dan terjadi peningkatan kinerja organisasi (koran-jakarta.com, 16/12/2021).

Akan tetapi, persoalan penyederhanaan birokrasi tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Mengingat budaya birokrasi di Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik (Romli, 2008).

Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, Pegawai Negeri pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan Pegawai Negeri adalah abdi negara mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada mengabdi ke atas dari pada ke bawah sebagai pelayanan kepada masyarakat (Romli, 2008).

Padahal sejatinya, Indonesia membutuhkan kinerja birokrasi yang prima berdasarkan kualitas aparatur birokrasi yang memiliki integritas dan profesionalitas. Bukan karena hanya kedekatan dengan para pejabat politik yang pada akhirnya hanya akan membawa birokrasi kembali ke era sebelum reformasi. Oleh karena itu, upaya untuk membenahi birokrasi  penyederhanaan birokrasi benar-benar dilakukan untuk tujuan seperti membutuhkan komitmen bersama. Komitmen memperkuat profesionalisme birokrasi harus menjadi komitmen bersama. Jangan sampai pemangkasan birokrasi tidak diikuti oleh perubahan mindset antara aktor baik dari unsur birokrasi dan politik. Karena mindsetnya masih sama, maka birokrasi  masih akan menjadi alat politik belaka.

 

Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar