Menjaga Netralitas ASN dalam Pemilihan Umum

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) hingga semester satu tahun 2023, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) tercatat sebanyak 4.282.429 dengan komposisi 89% Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 11% Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sebanyak 78% atau sekitar 3.328.942 ASN berkedudukan di daerah dan sisanya sekitar 953.487 orang bertugas di instansi pusat. Jumlah total ASN tersebut mencakup setidaknya 2% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang telah ditetapkan oleh KPU.

ASN adalah kelompok pemilih yang cukup istimewa karena memiliki peran sebagai mesin birokrasi dengan jenjang hierarki yang jelas. Keberpihakan ASN pada suatu kelompok politik tertentu akan mengembalikan Indonesia seperti zaman Orde Baru. Birokrasi ditempatkan bukan sebagai alat negara, tetapi dipolitisasi untuk mempertahankan rezim. Menjaga netralitas ASN dalam pemilu adalah suatu kewajiban yang harus dijaga dan dipantau oleh seluruh elemen bangsa.

Secara normatif beberapa instansi telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk menjaga netralitas ASN. Instansi tersebut adalah Kementerian PAN dan RB, Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, KPU, dan Komisi ASN. Regulasi tersebut merupakan penegasan terhadap larangan dan sanksi kepada ASN yang menjadi partisan dalam kontestasi pemilu. Sanksi yang disiapkan tetap mengacu kepada Undang-Undang tentang ASN dan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS dan Peraturan Pemerintah tentang Kode Etik PNS.

Secara substansial perlu ada jaminan bahwa birokrasi harus steril dari infiltrasi politik dalam pemilu. Jaminan tersebut harus lebih dari sekedar dokumen pakta integritas atau ikrar integritas netralitas. Sebagai mesin birokrasi yang digerakkan secara hierarki dari pimpinan, maka keteladanan dari elit birokrasi menjadi suatu keniscayaan. Oleh karena itu, bagi pejabat yang secara terbuka telah menjadi tim sukses kandidat dalam pemilu, maka pengunduran diri adalah sebuah keharusan. Cuti untuk berkampanye tidak cukup untuk menjamin bahwa birokrasi yang dipimpinnya akan berlaku netral dalam pemilu.

Secara legal, memang tidak semua pejabat tinggi harus mundur jika terlibat atau bahkan menjadi kandidat dalam kontestasi. Meskipun demikian, pejabat tinggi tersebut perlu memberikan teladan etik dan kepemimpinan bagi birokrasi yang dipimpinnya. Fasilitas jabatan yang diberikan oleh negara untuk menunjang tugas juga jangan sampai digunakan untuk kepentingan politis. Pejabat yang cuti dari jabatan selama masa kampanye harus tegas untuk melepaskan fasilitas jabatan, baik itu tempat tinggal, kendaraan, bahkan gaji yang dinikmati setiap bulan.

Menjaga netralitas ASN juga dapat diupayakan dengan membuatnya menjadi sebuah gerakan moral dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Tersebarnya jumlah ASN di seluruh Indonesia memerlukan sebuah gerakan terpadu dan mekanisme pengawasan yang melibatkan banyak pihak. Netralitas ASN dalam pemilu adalah bagian integral untuk merawat jalan panjang demokrasi Indonesia.

Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk menjaga netralitas ASN. Namun, hal tersebut tidak cukup karena harus diakui bahwa terdapat lubang regulasi yang menjadi celah bagi para politisi untuk menginfiltrasi dan mempengaruhi birokrasi. Oleh karena itu, aspek etika yang dicontohkan oleh para pejabat tinggi menjadi sangat esensial untuk dilakukan.

Para pejabat tinggi memiliki peran yang penting untuk membangun budaya birokrasi penuh yang patuh terhadap etika. Menjaga netralitas ASN harus dimulai dari internal dengan adanya keteladanan etika dari pejabat tinggi sebagai pemimpin instansi. Masyarakat sipil berperan untuk memantau pelaksanaan komitmen netralitas.

 

Asrul Ibrahim Nur

Research Fellow, The Indonesian Institute

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

asrul.ibrahimnur@gmail.com

Komentar