Baru-baru ini, Litbang Kompas, merilis hasil survei yang dilakukan pada 22 Februari 2019 – 5 Maret 2019. Survei ini menunjukkan, jarak elektabilitas antara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, semakin tipis.
Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf berada di angka 49,2 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 37,4 persen. Adapun, 13,4 persen responden menyatakan rahasia. Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan melibatkan 2.000 responden yang dipilih secara acak melalui pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di Indonesia, dengan tingkat kepercayaan 95 persen, dan margin of error +/- 2,2 persen.
Hasil survei ini ditanggapi oleh Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, yang mengkritisi metodologi survei tersebut. Denny mempertanyakan response rate atau responden yang bersedia menjawab. Denny menjelaskan bahwa survei yang memiliki response rate 95 persen (hanya 5 persen yang menolak menjawab) akan memberikan kualitas yang berbeda dengan survei yang memiliki response rate 45%.
Denny menyoroti tidak adanya keterangan soal kontrol kualitas survei. Dia juga mempertanyakan cara Litbang Kompas menarik kesimpulan survei dan mempermasalahkan penyebutan margin of error plus minus 2,2 persen. Dia menganggap selisih elektabilitas Jokowi pada bulan Oktober 2018 sebesar 52,6% menjadi 49,2% di bulan Maret 2019 sebesar 3,4% masih di bawah margin of error 4,4%. Menurutnya, secara statistik hal itu tidak signifikan dikatakan turun.
Selain itu, Denny juga berpendapat kata tren tidak tepat diberikan ke dua data survei Litbang Kompas. Menurutnya harus ada minimal 3 waktu data. Denny JA mengatakan lembaga survei seperti LSI Denny JA, SMRC, Indikator, dan Charta Politika, mendapat hasil yang mirip. Elektabilitas Jokowi sekitar 52-58 persen dan Prabowo sekitar 30-35 persen. Dia lalu menyebut ada hal yang jadi titik lemah survei Litbang Kompas.
Menurut penulis, memang tidak dapat dipungkiri, seperti Pemilu-Pemilu sebelumnya, jelang Pemilu 2019 ini, muncul lembaga-lembaga yang mengeluarkan hasil survei. Tidak jarang, hasil survei dikeluarkan oleh lembaga yang tidak diketahui rekam jejaknya. Bahkan kadang hasilnya berbanding terbalik dengan hasil-hasil survei lembaga lainnya. Munculnya hasil-hasil survei tersebut, kemudian menjadi perbincangan publik. Banyak kalangan yang menjadikan hasil survei sebagai rujukan. Di sisi lain, beberapa kalangan juga meragukan hasil survei tersebut.
Menyikapi polemik hasil survei menjelang Pemilu 2019, menurut penulis perbedaan hasil survei sah-sah saja, dengan catatan, sepanjang survei tersebut taat dengan kaidah-kaidah ilmiah. Kaidah-kaidah tersebut seperti, pertama pengambilan sampel yang dilakukan merepresentasikan jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiono, 2012). Hal ini untuk melihat akurasi survei. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan tidak menggiring ke arah opini tertentu (Sugiono, 2008).
Ketiga, melakukan publikasi margin of error. Margin of error adalah salah satu ukuran tingkat kesalahan sampel atas populasi yang dibatasi oleh peneliti. Margin of error akan berpengaruh terhadap seberapa besar jumlah sampel yang diambil (Huang, H. 2014). Pentingnya publikasi margin of error yaitu untuk menunjukkan kemungkinan kesalahan yang terjadi dalam pengambilan sampel dari sebuah hasil survei. Dari ketiga hal ini diharapkan masyarakat dapat menilai hasil survei yang objektif.
Selain itu, lembaga survei harus mengikuti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dimana pada Pasal 29 disebutkan bahwa pengumuman hasil Survei atau Jajak Pendapat dan Penghitungan Cepat Hasil Pemilu wajib memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, jumlah responden, tanggal pelaksanaan survei, cakupan pelaksanaan survei, dan pernyataan bahwa hasil tersebut bukan merupakan hasil resmi Penyelenggara Pemilu.
Agar tidak ada polemik di masyarakat, penulis menilai diperlukan langkah-langka sebagai berikut. Pertama, Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) berkolaborasi dengan penggiat media massa maupun organisasi masyarakat sipil yang fokus di topik terkait pemilu, untuk meningkatkan political literacy terkait survei kepada masyarakat.
Kedua, AROPI dan Persepi untuk mengoptimalkan fungsi dan peran Komisi Etik Survei agar dapat mengontrol para anggotanya agar lebih disiplin menjaga profesionalisme survei. Misalnya, dengan mempublikasikan hasil survei seperti yang telah ditentukan dalam PKPU No. 10 Tahun 2018.
Ketiga, mendesak KPU dan Bawaslu untuk memberikan sanksi dan mengumumkan lembaga survei yang tidak mematuhi PKPU No. 10 Tahun 2018. Sesuai dengan Pasal 34 ayat 2 PKPU tersebut, sanksi yang diterapkan dapat berbentuk pernyataan tidak kredibel, peringatan atau larangan melakukan kegiatan Survei atau Jajak Pendapat atau Penghitungan Cepat Hasil Pemilu. Selain itu, pada ayat 3 disebutkan, pelanggaran tindak pidana Pemilu yang dilakukan oleh pelaksana Survei atau Jajak Pendapat dan pelaksana Penghitungan Cepat Hasil Pemilu, dikenai sanksi sesuai Undang-Undang tentang Pemilu.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com