Seiring dengan maraknya isu pengampunan pajak atau tax amnesty, isu perpajakan lainnya ikut mencuat ke permukaan. Kali ini potensi pajak dari salah satu perusahaan mesin pencari (search engine) terbesar di dunia, Google, mulai dipertanyakan. Reuters (dalam Kompas.com, 20/09/2016) menaksir bahwa potensi pajak yang tidak dibayarkan oleh Google ke Pemerintah Indonesia pada tahun 2015 mencapai Rp.5,5 Triliun. Potensi tersebut kebanyakan diperoleh dari penjualan atas iklan elektronik yang mereka tawarkan. Nilai ini merupakan angka yang fantastis dan signifikan di tengah ancaman shortfalldua tahun terakhir.
Sayangnya, dari kabar yang berhembus di berbagai media, pihak Google Indonesia enggan untuk bekerjasama dengan pemerintah Indonesia – yang dalam hal ini diotoritasi oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan – untuk menyelesaikan masalah perpajakan yang membelitnya. Bahkan, Dirjen Pajak telah meningkatkan kasus ingkar pajak ini ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yakni tindak pidana perpajakan akibat tindakan inkoperatif yang dilakukan oleh pihak Google.
Sebenarnya pemerintah telah membujuk Google untuk menjadi Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia agar pengurusan perpajakan dapat lebih terorganisir dengan baik, menimbang pula bahwa jaminan pasar domestik atas jasa yang diberikan Google tidak sedikit dan sangat potensial untuk ke depannya. Akan tetapi, alih-alih menegosiasikan saran pemerintah dan mengizikan memeriksa laporan perpajakannya, Google justru tengah menyewa sebuah tim pengacara untuk melawan Dirjen Pajak.
Semakin meningkatnya kompleksitas kasus ini dipastikan waktu yang akan terbuang untuk mengurusi masalah ini pun tidak akan sebentar. Prastowo, pimpinan lembaga Center for Indonesian Taxation Analysis, menilai bahwa kasus ini akan memakan waktu setidaknya lebih dari tiga tahun hingga pengadilan membuat keputusan final mengenai kasus kriminal perpajakan.
Secara global, permasalahan Google ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Perancis, Italia, hingga Spanyol juga mengalami hal serupa, padahal jika dilihat lebih jauh sistem perpajakan yang ada di negara-negara tersebut sudah lebih mapan.
Di Inggris Google terbukti melakukan pengemplangan pajak meskipun telah meraih pundi-pundi besar dari negari Ratu Elizabeth tersebut. Hingga pada awal tahun 2016, Pemerintah Inggris meminta Google untuk membayar 130 juta poundsterling setelah dilakukan pemeriksaan mendalam oleh otoritas perpajakan setempat. Angka ini pun bahkan sempat dikritik oleh anggota parlemen oposisi Inggris yang menyatakan bahwa nilai pajak yang dijatuhkan terlalu sedikit dan tidak adil bagi pelaku usaha lokal.
Hampir serupa dengan apa yang terjadi di Indonesia dan Inggris, Google juga berulah di Perancis. Otoritas pajak Prancis bahkan telah menggerebek dan menyegel kantor Google yang bermarkas di Kota Paris 24 Mei 2016 lalu. Berdasarkan hasil pemeriksaan Pemerintah Perancis, Google tidak membayar pajak dan denda pemerintah setempat sebesar Rp.15,2 triliun sejak lama (CNN Indonesia, 19/09/2016).
Dengan kejadian ini penulis cukup menyesalkan sikap yang dilakukan oleh Google. Perusahaan ini seharusnya mulai melakukan pembenahan terhadap sistem perpajakan perusahaannya dan bersikap fair dalam menjalankan usaha di manapun itu. Google sudah sewajarnya melakukan ini karena keuntungan yang mereka peroleh dari aktivitas bisnisnya pun juga tidak sedikit, apalagi aktivitas ekonomi saat ini yang tengah tersentral pada kegiatan berbasis digital. Secara teori, aktivitas bisnis Google juga akan terpengaruh positif apabila pemerintah mampu membangun infrstruktur digital yang lebih baik, yang dananya tidak lain bersumber dari perpajakan.
Ditakutkan masih banyak lagi perusahaan lainnya selain Google yang bekerja secara nirkabel tengah mencoba menghindar dari skema perpajakan sebuah negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, masa di mana ekonomi digital berkembang kian pesat, memunculkan tantang baru bagi pemerintah. Salah satu tantangan tersebut adalah memungut pajak dari aktivitas bisnis dengan platform online atau bisa disebut sebagai e-commerce.
Hal yang menjadi masalah besar ketika dihadapkan dengan isu perpajakan daring adalah transaksi yang mampu menembus ruang suatu negara. Oleh karenanya, penulis setuju dengan ide yang dicetuskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengajak menteri keuangan di seluruh dunia untuk duduk bersama dalam suatu forum internasional dan membahas pemungutan pajak kegiatan ekonomi berbasis daring. Melalui kegiatan tersebut diharapkan timbul kesepakatan dan pemahaman bersama atas industri yang semakin marak berkembang ini.
Pemerintah Indonesia sendiripun juga harus memulai kajian mendalam tentang bagaimana seharusnya bersikap atas potensi pajak atas kegiatan ekonomi berbasis daring. Perlu kordinasi yang jelas, komprehensif, dan efektif antar kementerian dan pemangku kepentingan lainnya mengingat bahwa perpajakan dari bersifat lintas kementerian. Serta jangan sampai pula aturan perpajakan yang kemudian dikenakan bersifat tidak adil dan justru bersifat kontraproduktif terhadap pembangunan iklim investasi di dalam negeri.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com