Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terus melakukan penanganan konten perjudian online di ruang digital melalui berbagai cara. Sejak tahun 2018 hingga 6 September 2023, Kemenkominfo telah memutus akses konten judi online ratusan ribu situs. Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menjelaskan Kemenkominfo telah melakukan pemutusan akses situs dan take down terhadap 938.106 konten judi online. Lalu, dari bulan Juli sampai September 2023, pemutusan akses dan take down juga telah dilakukan terhadap 124.439 konten perjudian online (tribratanews.polri.go.id, 7/9/23).
Pemberantasan situs praktik perjudian berbasis online saat ini masih menjadi prioritas lembaga kebijakan seperti Kemenkominfo dan institusi lainnya seperti Polisi Republik Indonesia (Polri). Namun, di tengah upaya penanganan penutupan situs tersebut, muncul wacana terbaru untuk penanganan masalah perjudian online ini. Wacana baru tersebut yakni adanya usulan pungutan pajak terhadap penyelenggaraan perjudian online. Wacana yang di usulkan oleh Budi Arie sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika baru menimbulkan pro-kontra di tengah persepsi masyarakat Indonesia yang mana masih sarat akan nilai dan aturan agama yang cukup kuat.
Usulan wacana yang dicetus oleh Menteri Budi Arie menimbulkan gejolak penolakan menimbang sebagian besar pelaku perjudian online merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Susi Pudjiastusi sebagai mantan Menteri Perikanan dan Kelautan turut bersuara mengungkapkan penolakannya terhadap wacana tersebut. Dalam cuitan akun Twitternya, Susi mengatakan, “Kenapa bukan kasino saja yang dibangun untuk dipajaki, customer-nya kalangan atas. Judi online yang kena banyak masyarakat kalangan bawah. Membuat kalangan ini menjadi tambah miskin. Kehilangan harta benda yang mereka tidak banyak punya,” (Olret.viva.co.id, 6/9/2023).
Praktik perjudian sejak lama telah dilarang untuk dilakukan sebagai yang telah disepakati bersama. Meskipun praktik ini dinilai juga merupakan produk tradisi budaya, namun disepakati bahwa perjudian dinilai memiliki dampak yang negatif secara signifikan terhadap kehidupan baik secara individu maupun sosial. Dampak negatif tersebut seperti kerugian secara materi, rusaknya ekonomi keluarga, timbulnya potensi kriminalitas, seperti pencurian, perampokan, transaksi prostitusi, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, wacana pemungutan pajak pada praktik ini menimbulkan kontradiksi nilai-nilai di tengah masyarakat. Namun, konsep pajak ini dapat menjadi salah satu solusi pemerintah dalam mengendalikan penyelenggaraan praktik perjudian yang selama ini dinilai tidak efektif dalam mengubah perilaku individual. Dengan meningkatkan nilai pajak pada setiap permainan dalam penyelenggaraan (baik praktik yang dilakukan secara online maupun konvensional), maka akan kecil kemungkinan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mengambil risiko besar untuk mengikuti semua aspek permainan. Selain harus mengeluarkan sejumlah uang, mereka pun juga harus membayar pajak yang tinggi dalam permainan tersebut. Contoh negara yang melegalkan praktik judi adalah Malaysia. Malaysia sebagai salah satu negara muslim dapat menjadi contoh di mana praktik ini dilegalkan, namun hanya dapat diakses oleh kalangan masyarakat dengan kriteria tertentu.
Begitupula dalam penyelenggaraan sarana permainan secara konvensional yang tentunya membutuhkan perhitungan nilai ekonomi yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, wacana pemungutan nilai pajak ini jika akan diterapkan perlu mempertimbangkan efektivitas penerapannya, baik pada pelaku usaha penyelenggaraan, maupun terhadap masyarakat sebagai pemain. Penerapan pajak bisa menjadi salah satu faktor pertimbangan risiko para pemainnya untuk ikut terlibat dalam permainan taruhan ini.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)