Magrib Mengaji Ala Ridwan Kamil: Edukatif atau Eksklusif?

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Ridwan Kamil-Suswono, menggagas program ‘Magrib Mengaji,’ yang bertujuan mewajibkan anak-anak Islam di Jakarta untuk mengaji setiap hari selepas salat magrib. Menurut Ridwan Kamil, program ini bertujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan lahir dan batin anak-anak, khususnya dalam lingkup pendidikan keagamaan (CNN Indonesia, 20/9/2024). Inisiatif ini berangkat dari niat baik untuk memperkuat moral dan spiritual generasi muda di Jakarta. Namun, wacana kebijakan ini langsung menuai berbagai pertanyaan dan kritik. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah terkait kesiapan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan program ini, termasuk ketersediaan pengajar agama yang kompeten di setiap wilayah. Selain itu, hal ini tentu berhubungan dengan alokasi anggaran, karena program berskala besar seperti ini akan membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit.

Di samping itu, program ini terkesan eksklusif bagi umat Islam, sementara Jakarta adalah kota dengan keberagaman agama yang signifikan. Meskipun sekitar 9,43 juta penduduknya beragama Islam, sebanyak 957.332 penduduk Jakarta beragama Kristen, sedangkan 437.967 orang memeluk agama Katolik. Selain itu, tercatat 393.919 warga yang beragama Buddha, dan 20.262 yang beragama Hindu. Ada juga 1.739 penduduk yang beragama Konghucu, serta 417 orang yang menganut aliran kepercayaan (Badan Pusat Statistik, 2022). Data ini menunjukkan bahwa umat dari berbagai keyakinan lainnya juga hidup berdampingan di Jakarta, dan tak jarang dari mereka yang masih menghadapi permasalahan terkait hak kebebasan beribadah. Salah satu contoh adalah penolakan pembangunan rumah ibadat di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada tahun 2022, yang menyoroti ketimpangan perlakuan terhadap umat beragama di kota ini. Selain itu, melansir dari Detik.com (25/6/2024), juga terjadi perusakan terhadap dua gereja di daerah Jakarta Timur yang kemudian menyebabkan bentrokan antar kelompok.

Tak sampai di situ, berdasarkan data yang dihimpun BPS pada 2023, tren pembangunan rumah ibadat di Jakarta menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Dalam kurun waktu 2018-2022, jumlah gereja Protestan justru mengalami penurunan drastis hingga 1.449 unit bangunan, yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti penolakan izin, pengrusakan, hingga intimidasi dari kelompok tertentu. Sementara, jumlah masjid dan mushola justru meningkat signifikan, dengan kenaikan mencapai 1.324 unit. Gereja Katolik hanya bertambah 2 unit, pura bertambah 3 unit, vihara naik 26 unit, dan kelenteng hanya bertambah 1 unit.

Data ini mengungkapkan adanya ketidakseimbangan dalam perlakuan terhadap rumah ibadat berbagai agama di Jakarta. Penurunan jumlah gereja Protestan menunjukkan bahwa umat Kristen Protestan menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan akses ke tempat ibadah yang layak. Di sisi lain, peningkatan signifikan jumlah masjid dan mushola mencerminkan adanya dukungan yang lebih besar bagi komunitas Muslim dalam hal pembangunan infrastruktur keagamaan.

Kesenjangan ini memperkuat kekhawatiran tentang eksklusivitas kebijakan ‘Magrib Mengaji,’ yang meskipun berniat baik, justru berpotensi memperlebar ketimpangan sosial antar kelompok agama di Jakarta. Kebijakan semacam ini, yang secara eksplisit mengakomodasi satu kelompok agama tanpa memberikan ruang yang setara bagi agama-agama lain, bisa memicu perasaan alienasi di kalangan umat non-Muslim, terutama mereka yang sudah lama berjuang mendapatkan kebebasan beribadah, seperti yang terjadi di kasus Jagakarsa pada tahun 2022.

Lebih jauh, pendefinisian “seimbang lahir dan batin” seharusnya tidak dipersempit hanya pada aktivitas beribadat. Ibadat merupakan aspek transendental yang bersifat sangat personal, di mana setiap individu memiliki hubungan yang unik dengan Tuhan atau keyakinan mereka masing-masing. Oleh karena itu, negara sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan ibadat, termasuk mewajibkan atau mengarahkan warga untuk melakukan ritual agama tertentu. Kebebasan beribadah, atau bahkan memilih untuk tidak beribadah, adalah hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi dan semestinya dihormati oleh negara.

Tugas pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang “seimbang lahir dan batin” seharusnya berfokus pada pemenuhan hak-hak dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial, yang menciptakan lingkungan di mana setiap individu bisa menjalani hidupnya dengan damai, aman, dan sejahtera. Pemerintah juga harus memastikan bahwa hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk hak untuk tidak beribadah, tidak dilanggar atau dikhianati oleh kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Pemaksaan satu bentuk kebahagiaan spiritual pada seluruh masyarakat, yang berbeda latar belakang dan keyakinannya, justru dapat menciptakan ketidakadilan, tekanan hingga konflik sosial, yang pada gilirannya mempersulit terciptanya keseimbangan lahir dan batin yang dicita-citakan bersama.

 

Felia Primaresti

Peneliti Bidang Politik

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

felia@theindonesianinstitute.com

Komentar