Pada 27 November 2024, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah dilaksanakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Perhelatan Pilkada tahun ini merupakan pilkada pertama yang dilakukan secara serentak.
Pelaksanaan Pilkada diwarnai banyak dinamika, dari maraknya politik uang hingga rendahnya pemilih yang berpartisipasi saat hari pemungutan suara tiba. Politik uang yang terus menjadi bagian dari proses pemilihan umum di Indonesia hingga saat ini menjadi perhatian semua orang, termasuk politisi yang menjadi praktisi langsung. Wacana-wacana “memperbaiki sistem demokrasi yang tidak berdasarkan uang” menjadi lebih sering digaungkan di tahun 2024 ini. Rendahnya partisipasi pemilih di saat Pilkada 2024 juga menjadi pukulan terhadap penyelenggaraan demokrasi substansi di tingkat daerah. Sebetulnya, apa yang sedang terjadi pada demokrasi Indonesia?
Politik uang di Indonesia memberikan kesempatan untuk membeli suara rakyat dalam ajang Pilkada 2024. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan bahwa per November 2024, Bawaslu sedang melakukan kajian awal terhadap 130 laporan dugaan pelanggaran politik uang selama masa tenang dan pemungutan suara Pilkada 2024 (hukumonline.com, 28/11/2024). Dari pengawasan Bawaslu, ditemukan dugaan pembagian uang atau materi lain di 7 provinsi dan 10 kabupaten/kota. Sementara, dari laporan masyarakat ditemukan dugaan pembagian uang atau materi lain di 7 provinsi dan 16 kabupaten/kota. Potensi pembagian uang atau materi lainnya ditemukan dari pengawasan Bawaslu di 3 provinsi dan 7 kabupaten/kota. Sedangkan, masyarakat melaporkan potensi pembagian uang dan materi lainnya di 12 provinsi dan 21 kabupaten/kota.
Menurut Aditya Perdana, Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia, saat ini politik uang semakin marak baik secara konvensional maupun digital (tempo.co, 25/11/2024). Rifqi Ridho Phahlevy, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengatakan praktik politik uang masih subur di masyarakat karena budaya hukum masyarakat yang masih menormalisasi demokrasi transaksional. Selain itu, warga masih ada yang menerima uang mencerminkan kekecewaan mereka terhadap sikap dan kinerja politisi selama menjalankan jabatan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (umisida.ac.id, 26/11/2024). Dengan demikian, penerimaan uang ini menjadi ’ganti rugi’ untuk apapun yang akan dilakukan pejabat saat ia terpilih nanti.
Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 menjadi satu pertanyaan besar tahun ini. Berdasarkan pernyataan dari Komisioner Komisi Pemilihan Umum August Mellaz, tidak sampai 70 persen pemilih yang mengikuti Pilkada 2024, di mana target awalnya adalah 82 persen. Jika dibandingkan dengan jumlah partisipasi saat Pemilu 2024, 81,78 persen orang menggunakan hak pilihnya untuk memiliki Presiden dan Wakil Presiden, 81,42 persen untuk memilih anggota legislatif, dan 81,36 persen untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (tempo.co, 4/12/2024).
Beberapa pandangan menyatakan bahwa rendahnya partisipasi pemilih tahun ini disebabkan karena pemilih sudah jenuh dengan rangkaian pemilihan di tahun politik 2024. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas Asrinaldi (2024), menjelaskan bahwa puncak pemilihan adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan lama kelamaan ketika sampai di pemerintah daerah, antusiasme mulai menurun. Selain itu, pandangan tidak adanya konsekuensi yang akan didapat jika tidak memilih juga masih marak di masyarakat. Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting (2024) menyampaikan bahwa partisipasi rendah ini bisa disebabkan karena kekecewaan masyarakat karena tidak adanya pilihan yang ideal dari deretan calon kepala daerah.
Tidak hanya masyarakat yang jenuh, tapi juga partai politik yang jenuh. Pakar Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Muhammad Faishal Aminuddin (2024), menilai bahwa partai telah terus menerus mengusung kadernya dari pemilihan presiden, legislatif, DPD, sampai dengan kepala daerah.
Layaknya negara-negara lain, bangsa Indonesia juga masih belajar dalam menjalankan demokrasinya. Akan terus ada ruang perbaikan untuk demokrasi kita. Namun, perlu ditegaskan bahwa mengubah konstitusi dan menjadikan pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan solusinya. Wacana ini harus dimatikan karena memperbaiki demokrasi tidak bisa dilakukan dengan mematikan demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah bagian dari cerminan Sila ke-4 Pancasila dalam aspek kerakyatan yang jelas juga dimandatkan dalam konstitusi. Jangan sampai justru sibuk berkutat dengan glorifikasi ”permusyawaratan perwakilan” dan membawa kembali praktik pemilihan oleh MPR.
Peningkatan pemahaman akan budaya demokrasi di masyarakat perlu ditanamkan secara lebih dalam dan fundamental. ”Lingkaran setan” penawaran dan permintaan antara politisi dan masyarakat yang memupuk politik uang harus bisa dihentikan dengan ketegasan penyelenggara pemilu. Sudah ada hukum yang jelas untuk pilkada dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana diubah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan Perppu Nomor 8 Tahun 2020 (UU Pilkada). Namun, belum terlihat ada ketegasan dan efek jera yang tercipta.
Penyelenggara pemilu harus lebih tegas dalam menindak praktik politik uang, baik ke politisi maupun masyarakat, serta bekerja sama lebih keras dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait. Politisi lewat partai politiknya juga harus melakukan pendidikan politik sebagaimana mestinya untuk menciptakan proses pemilu yang mencerminkan demokrasi substantif. Tidak hanya memberatkan penyelenggara pemilu dan partai politik, pemerintah juga harus bisa mencontohkan dan menyebarkan nilai-nilai undamental demokrasi sebagaimana sejatinya pencerminan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan semua peraturan perundang-undangan lain yang mengharuskan pemerintah mengedepankan demokrasi dan pemerintahan yang baik. Terakhir, masyarakat juga harus mau berevolusi dan tegas untuk mengatakan tidak pada politik uang!
Dengan penghargaan terhadap pemilihan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta kesadaran bahwa pilihannya akan memengaruhi kehidupannya ke depan secara langsung maupun tidak langsung, niscaya masyarakat akan kembali menghormati proses pemilu untuk semua tingkatan. Adanya proses yang mengedepankan asas pemilu, sanksi yang tegas diberikan untuk semua pihak, dan kader yang berkualitas akan menciptakan pemilu dan pilkada yang ideal mencerminkan demokrasi. Kembalinya penghargaan pada proses pemilu dan kesadaran akan demokrasi substantif juga akan berkontribusi pada meningkatnya antusiasme masyarakat.
Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
christina@theindonesianinstitute.com