KPU Sebagai Lembaga Ad Hoc: Hemat atau Inefisiensi?

Wacana revisi UU Pemilu terus bergulir, yang pada dasarnya positif, tetapi perlu dipantau secara cermat, termasuk usulan-usulannya. Selain isu yang ramai dibicarakan, seperti transparansi pendanaan partai politik dan rekrutmen, muncul juga usulan menjadikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga ad hoc dengan siklus kerja dua tahun. Usulan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran terkait keberlanjutan dan efektivitas KPU dalam menjalankan tugasnya.Sebagai penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab atas kejujuran, integritas, dan kelancaran proses demokrasi, perubahan ini berpotensi menghadirkan sejumlah dampak negatif, baik dari segi operasional, independensi, maupun citra KPU itu sendiri.

Usulan ini tak kalah pentingnya untuk disoroti. Pasalnya, menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc yang diganti setiap dua tahun dapat berdampak pada stabilitas dan kesinambungan kerja lembaga ini. Perlu diingat bahwa pergantian anggota yang sering memerlukan adaptasi berulang, di mana setiap pergantian memakan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit. Anggota baru juga perlu menyesuaikan diri dengan peraturan dan mekanisme internal serta menjalin sinergi dengan berbagai pihak terkait. Dalam konteks pemilu yang kompleks dan melibatkan berbagai elemen, kelanjutan perencanaan dan pelaksanaan jangka panjang sangat penting agar tidak terjadi kekosongan kebijakan atau program yang tertunda. Di sisi lain, dari segi anggaran misalnya, pembaruan anggota yang sering dilakukan juga akan memengaruhi pengeluaran. Padahal, anggaran seharusnya lebih diprioritaskan dan dialokasikan untuk program lain yang lebih berdampak langsung pada kualitas pemilu secara umum.

Selain itu, usulan ini juga membawa risiko pada peningkatan wewenang DPR dalam menentukan komisioner KPU. Perlu kita ingat bersama bahwa DPR, khususnya Komisi II, memiliki pengaruh dalam proses seleksi komisioner KPU. Artinya, dengan perubahan ke struktur ad hoc, pergantian komisioner yang lebih sering dapat membuka peluang bagi kepentingan politik untuk turut campur dalam pemilihan anggota KPU secara berkala. Siklus dua tahun ini bisa memberikan celah bagi partai-partai politik di DPR untuk memanfaatkan proses seleksi guna menempatkan figur-figur yang lebih akomodatif terhadap kepentingan mereka, sehingga berpotensi bisa menggerus independensi dan kredibilitas KPU sebagai lembaga yang seharusnya non-partisan, akuntabel dan berintegritas.

Oleh karena itu. dalam hal efektivitas dan efisiensi anggaran, pendekatan yang lebih baik adalah memperkuat kelembagaan KPU tanpa merusak kesinambungan dan independensinya. KPU perlu meningkatkan efisiensi dengan meninjau kegiatan-kegiatan yang memakan anggaran besar, namun tidak signifikan dalam mendukung tugas inti KPU. Misalnya, KPU dapat meminimalisir kegiatan yang sifatnya seremonial dan fokus pada agenda-agenda produktif dan substantif. Misalnya, rapat yang menggunakan dekorasi berlebihan, atau pengeluaran terkait seragam atau kegiatan orientasi yang  berlebihan, seharusnya dikurangi, dan fokus pada substansinya. Upaya ini akan menghemat anggaran tanpa mengorbankan kualitas.

Hal lain yang juga perlu dilakukan KPU adalah dengan melakukan reformasi birokrasi internal dengan menyederhanakan struktur dan memangkas divisi-divisi yang kinerjanya kurang produktif. Divisi yang tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap pelaksanaan pemilu sebaiknya digabung atau dihilangkan, agar sumber daya dapat dialihkan ke divisi yang lebih esensial. Misalnya, terkait data dan informasi, hubungan masyarakat, maupun partisipasi masyarakat, agar KPU lebih inklusif, transparan, dan akuntabel.

Di sisi lain, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan berkala yang relevan juga penting untuk meningkatkan profesionalitas anggota dan pegawai KPU. Dengan meningkatkan SDM yang ada, KPU tidak perlu terus bergantung pada pergantian anggota untuk memastikan inovasi dan efektivitas kerja. Peningkatan keterbukaan data (open data) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, sehingga masyarakat dapat memantau dan mengevaluasi kinerja KPU secara langsung.

Sekali lagi, mengubah KPU menjadi lembaga ad hoc mungkin terlihat menarik dari sisi penghematan anggaran, tetapi dampak jangka panjang dari perubahan ini perlu dipertimbangkan dengan matang. KPU sebagai penyelenggara pemilu harus dijaga independensinya. Hal ini membutuhkan kesinambungan dalam aspek perencanaan dan implementasi, serta monitoring dan evaluasi, melalui tata kelola yang baik.

Felia Primaresti – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

felia@theindonesianinstitute.com 

Komentar