Kota Ramah Perempuan

lola-ameliaSetiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Tata Ruang (Hari Taru) yang diadopsi dari World Town Planning Day (WTPD) yang dicetuskan sejak 1949 di Argentina. Sejak 1995 peringatan WTPD dikoordinasi oleh Internasional Society of City and Regional Planner (IsoCaRP) yang berkedudukan di Den Hag, Belanda dan diperingati setiap tahun oleh 35 negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Tema umum peringatan Hari Taru di Indonesia adalah Perencanaan Kota Untuk Semua (Planing for All). Dalam konteks kekinian perkotaan di Indonesia, kita ambil contoh Jakarta, pertanyaan yang sering timbul di benak kita adalah, “Apakah perencanaan kota Jakarta yang seperti sekarang ini benar untuk semua?” Artinya, apakah tata ruang Jakarta, mulai dari sistem transportasi, Ruang Terbuka Hijau (RTH), air, permukiman dan lain sebagainya, bisa dinikmati secara setara oleh semua kalangan masyarakat Jakarta? Lebih fokus lagi, misalnya, apakah perencanaan kota Jakarta sudah ramah untuk perempuan?

Melihat, kondisi kekinian Jakarta, terlihat jelas bahwa Jakarta masih belum bisa dikategorikan ramah perempuan. Hal ini karena pertama, memang belum ada kebijakan spesifik yang diusung Pemprov yang spesifik dibuat dengan kesadaran pentingnya membuat kota Jakarta aman dan nyaman bagi perempuan.

Kedua, sarana dan prasarana perkotaan juga belum ramah perempuan. Misalnya saja terkait transportasi. Bagaimana bis-bis menengah seperti Metromini atau Kopaja dengan kondisi tidak layak jalan dan juga dengan sopir-sopir yang tidak mempedulikan penumpangnya, misalnya menyetir ugal-ugalan atau menerobos separator busway seenaknya.

Masih terkait, sarana bagaimana untuk penerangan jalan juga masih belum diperhatikan terutama di daerah-daerah perkampungan padat penduduk, sehingga rentan menjadi tempat kekerasan terhadap perempuan terjadi. Sebagai contoh kasus wartawati yang mengalami kekerasan di sebuah gang gelap di daerah Pramuka beberapa waktu lalu.

Terkait, kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam tiga belas tahun terakhirnya setiap harinya di Indonesia terjadi 20 kali kekerasan seksual atau secara keseluruhan ada sebanyak 93.960 kasus, dan 23,7 persennya terjadi di ruang publik. Ruang publik di sini maksudnya adalah di angkutan umum, taman kota, jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya. Ini kemudian menjadi salah satu poin dimana mewujudkan Kota Ramah Perempuan menjadi sebuah urgensi dan keharusan.

Meskipun data Komnas Perempuan tersebut tidak spesifik mendeskripsikan permasalahan di Jakarta, namun memberikan gambaran kepada kita bagaimana ruang publik perlu mendapat perhatian serius untuk mewujudkan Kota Ramah Perempuan.

Prinsip dasar dari Kota Ramah Perempuan ini adalah bagaimana sebuah kota dibangun agar inklusif untuk semua warganya, perempuan dan laki-laki, kaya-miskin, masyrakat sipil, sektor swasta dan tentunya aman, sehingga semua warga dapat bekerja, bersosialisasi dan mengaktualisasikan dirinya.

Dengan kata lain, pembangunan perkotaan seharusnya diarahkan ke pembangunan yang dapat mengantisipasi lonjakan penduduk, kemiskinan, masalah keamanan khususnya untuk perempuan dan anak-anak, serta penyandang cacat dan berbagai masalah sosial lainnya, terutama mengakhiri kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik (Firman, 2013).

Untuk konteks Jakarta, walaupun belum ada kebijakan eksplisit terkait Kota Ramah Perempuan ini, namun ada beberapa inisiasi yang sudah diperbuat dan patut diapresiasi. Misalnya, pengadaan gerbong khusus perempuan di Commuterline, pemisahan penumpang perempuan dan laki-laki di Busway, penyediaan ruang khusus ibu menyusui dan sebagainya.

Namun, tentunya inisiasi-inisiasi tersebut belumlah cukup, mengingat begitu kompleksnya persoalan “ruang kota” yang harus diperhatikan agar kota benar-benar nyaman untuk perempuan melakukan aktivitas di ruang publik dan kemudian berkontribusi di dalamnya. Oleh karena itu, poin penting dalam mewujudkan Kota Ramah Perempuan adalah bagaimana sejak dalam penyusunan konsep Kota Ramah Perempuan ini, pemerintah melibatkan survivor kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, keluarga korban, masyarakat dari segala lapisan masyarakat.

Hal ini agar program-program yang dibuat untuk mewujudkan Kota Ramah Perempuan ini benar-benar implementatif karena dibuat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan sendiri selama ini beraktivitas di ruang-ruang kota.

Catatan penting lainnya adalah, bahwa persoalan mengkondisikan pembangunan sebuah kota agar ramah perempuan bukan berarti hendak membuat keistimewaan terhadap perempuan. Hal ini harus dilihat sebagai sebuah cara untuk mempercepat kesetaraan gender perempuan dan laki-laki. Seperti yang dikatakan di atas bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah sebagai salah bentuk ketidaksetaraan gender. Dan ketidaksetaraan gender tercipta karena stigma, pelabelan dan subordinasi yang dialami perempuan selama ini di ranah publik dan juga pivat.

Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com

Komentar