Ketimpangan, Kerusuhan 1998, dan Konflik Laten di Jakarta

Pada tanggal 13-14 Mei dua dekade yang lalu, memori warga Jakarta mencatat adanya aksi penjarahan, kekerasan seksual, dan aksi kekerasan lainnya yang dialami oleh keturunan Tionghoa. Banyak pertokoan dan rumah yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa dijarah dan dibakar oleh warga miskin kota yang dilabeli sebagai orang Pribumi. Munculnya sentimen anti-Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 tersebut salah satunya dikarenakan tingginya ketimpangan saat itu yang disebebkan oleh krisis moneter. Daya beli masyarkat menurun karena tingginya inflasi waktu itu. Akhirnya, untuk mengalihkan kesulitan menjangkau bahan dasar rumah tangga, masyarakat menjarah toko-toko dan melampiaskan kemarahan tersebut kepada etnis Tionghoa yang dikenal sebagai etnis pengusaha. Ada laporan lain yang mengatakan bahwa mereka sengaja dimobilisasi untuk melakukan penjarahan. Kekerasan terhadap etnis Tionghoa tersebut merupakan kekerasan laten yang telah berlangsung sejak lama. Hampir dapat dipastikan ketika ketimpangan mulai meninggi, isu anti-China akan segera muncul ke permukaan.

Sentimen anti-China menguat kembali dalam Pilkada Jakarta 2017 silam. Ahok yang berketurunan Tionghoa, sekaligus beragama Kristen dalam Pilkada Jakarta berhasil dikalahkan oleh Anies Baswedan yang dalam survei-survei awal Ahok mengungguli kandidat-kandidat yang lain. Bahkan tingkat kepuasan terhadap Ahok sebagai petahana Gubernur DKI Jakarta mencapai 71,9 persen (Kompas.com, 15/04/2017). Angka kepuasan terhadap kinerja Ahok tersebut tidak berbanding lurus dengan suara yang didapatkan oleh Ahok. Hasil akhir pada putaran kedua KPU mengumumkan bahwa pasangan Ahok-Djarot hanya memperoleh suara sebanyak 42,04 persen. Dipihak lain Anies-Sandi berhasil memperoleh suara 57,96 persen suara.

Banyak pengamat seperti Ian Wilson (2017), Azis Anwar Fachrudin (2017), serta Eve Warburton & Liam Gammon (2017) menjelaskan bahwa kemenangan Anies-Sandi tidak dapat dijelaskan begitu saja dari dari kacamata identitas primodial keagamaan. Akan tetapi diperlukan analisis kelas untuk menjelaskan kekalahan Ahok tersebut. Ian Wilson berhasil mengambil gambar spanduk yang dibawa oleh peserta Gerakan 212 yang mencerminkan adanya hubungan erat antara kelas dan identitas keagamaan dalam kasus Pilkada Jakarta 2017. Isi spanduk tersebut ialah, “Ahok Mundur! Dia Menganggap Ummat Islam Sebagai Manusia Kelas Dua.” Spanduk tersebut hanya manifestasi text atas respon warga terhadap berbagai kebijakan Ahok yang menggusur warga miskin kota yang kebetulan banyak diantara mereka yang beragama Islam.

Dari dua peristiwa yang tersimpan dalam memori kesejarahan warga Jakarta tersebut, nampaknya ada hubungan konfliktual yang sifatnya laten antara pribumi dan keturunan Tionghoa. Konflik laten ini akan muncul ketika ada peristiwa politik penting dan ketimpangan ekonomi cukup tinggi. Penulis tidak ingin menambah penjelasan mengapa sentimen keagamaan dan kelas bisa muncul di Jakarta. Lebih jauh, ingin menagih komitmen Anies Baswedan untuk mewujudkan janjinya  menyatukan warga Jakarta yang telah terbelah menjadi dua pasca Pilkada 2017 silam. Sejauh mana dia bisa mengendorkan kembali formasi identitas yang telah difiksasikan oleh timses kandidat Pilkada Jakarta 2017 kemarin. Artikel ini juga akan menyodorkan rekomendasi kebijakan kepada Pemprov Jakarta untuk mengikis konflik laten tersebut dan apa yang seharusnya Pemprov DKI Jakarta lakukan untuk menjaga pluralitas di Jakarta.

Retorika Gubernur Baru dalam Ketimpangan di Jakarta

Sejak masa kampanye hingga telah terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan selalu menekankan Jakarta adalah kota untuk semua. Jakarta bukan untuk satu golongan, Jakarta bukan untuk satu kelompok. Jakarta bukan milik sebagian orang, dan frase-frase lainnya yang menekankan bahwa Jakarta harus adil bagi seluruh warganya. Narasi ini dimunculkan oleh Anies Baswedan untuk membedakan dirinya dengan Ahok yang selama ini dianggap hanya menguntungkan kelas menengah ke atas.

Narasi tersebut Ia manifestasikan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro-UMKM dan tindakan tegas terhadap korporasi-korporasi besar. Beberapa minggu setelah Anies-Sandi dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, mereka langsung mengeluarkan kebijakan untuk menutup Jalan Jatibaru Raya bagi kendaraan bermotor dan memberikan izin kepada PKL untuk menempatinya. Diwaktu yang lain, Anies juga melegalkan becak sebagai kendaraan umum yang dapat menopang perekonomian warga kelas bawah. Anies juga begitu antusias atas dibatalkannya Pegub larangan roda dua melintas di Jalan Thamrin oleh MA. Jelasnya, melalui berbagai kebijakan tersebut, Anies telah mengirimkan pesan ke publik bahwa Ia ingin meyakinkan publik bahwa Ia merupakan gubernur yang pro terhadap warga berekonomi lemah.

Disaat yang bersamaan, Anies juga mengirim pesan bahwa Ia juga tegas terhadap korporasi-korporasi yang tidak mentaati hukum. Sewaktu merazia gedung yang menggunakan sumber air selain dari sumber PDAM pada medio Maret 2018 silam, ia ingin memberikan pesan bahwa Ia juga menegakkan keadilan kepada golongan kaya. Selain itu, Anies juga mencabut izin Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau Reklamasi (liputan6.com, 10/01). Namun, apakah pesan yang disampiakan oleh Anies Baswedan tersebut akan memperbaiki pluralitas Jakarta yang telah terluka pasca Pilkada 2017? Apakah pesan gubernur tersebut dapat mengikis konflik laten yang bersemayam dalam benak warga Jakarta?

Civic Engagement: Menguatkan Kerekatan Warga, Melampaui Narasi Pertentangan Kelas

Untuk mengikiskan konflik laten antara Pribumi dan Tionghoa, Pemprov Jakarta tidak cukup hanya sekedar menunjukkan adanya jurang ketimpangan. Pemprov Jakarta tidak cukup hanya mengafirmasi satu kelompok yang lemah dan menekan golongan yang kuat secara perekonomian. Akan tetapi lebih jauh ialah membuka saluran komunikasi antara yang kuat dan yang lemah tersebut. Mereka harus dapat saling berkomunikasi, memahami persoalan satu sama lain yang bertujuan menumbuhkan empati.

Persoalan yang melibatkan ketimpangan kelas dan identitas rasial sebetulnya tidak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota Amerika sentimen antara kulit hitam dan kulit putih yang mewakili kelas yang berbeda juga masih sering terjadi. Untuk memperbaiki ketimpangan yang seringkali berujung kriminalitas tersebut, Amerika Serikat mengembangkan pendidikan civic engagement. AS mendorong agar warga saling bertegur sapa, mengenal, dan perhatian satu sama lain. AS mendorong agar komunitas-komunitas yang menjadi cikal bakal bekerjanya demokrasi di Amerika menjadi kuat. Sehingga peran negara menjadi berkurang dan mendorong keaktifan warga dalam bertoleransi. Toleransi yang tumbuh dari warga, bukan disponsori oleh negara.

Di Indonesia, konsep civic engagement tersebut sebetulnya sesuai dengan praktik Pancasila. Yudi Latif (2017) menafsirkan Pancasila harus dapat menyatukan antara yang kaya dan yang miskin, antara golongan satu dengan golongan yang lain. Satu sama lain saling berbagi cerita yang menumbuhkan rasa gotong-royong dan rasa kasih sayang diantara warga.

Gubernur Jakarta tidak bisa hanya memberikan seruan agar warga bersatu dan mendorong warga untuk berkomunitas. Tetapi, sebagai salah satu pemangku kebijakan, Pemprov DKI Jakarta juga memiliki tanggungan untuk mendisain tata kota agar tidak menjadi gheto-gheto komunitas tertentu. Ke depan, Pemprov DKI Jakarta harus membaurkan beragam komunitas dan latar belakang ekonomi dalam peta Kota Jakarta. Jangan sampai daerah tertentu hanya dihuni oleh komunitas tertentu yang tergolong dalam kelas tertentu. Dengan adanya pembauran tersebut potensi kerusuhan akan lebih kecil dibandingkan dengan komunitas-komunitas yang berkelompok berdasarkan agama atau etnis tertentu (gated community). Oleh karena itu, untuk mengikis konflik laten tersebut, bertepatan dengan bulan reformasi ini penulis mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk mengembangkan konsep civic engagement yang cikal-bakalnya sudah dimiliki oleh warga Jakarta.

 

Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institutefadel@theindonesianinstitute.com

Komentar