Jakarta, 27 Mei 2019-Dalam rangka memperingati momentum reformasi sekaligus 20 tahun lebih pelaksanaan otonomi luas, The Indonesian Institute (TII) mengadakan kajian kebijakan terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan di era otonomi daerah. Hal ini berangkat dari kondisi yang dialami oleh Indonesia saat ini, yang sedang berada dalam masa transisi menuju cakupan pelayanan kesehatan semesta yang sudah dimulai sejak tahun 2004 silam.
Dalam silang masa transisi itu, dapat dilihat adanya pergeseran kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial (red: kesehatan) kepada dan berdasarkan prakarsa daerah masing-masing, menjadi seluruhnya diselanggarakan oleh Pemerintah Pusat melalui BPJS Kesehatan. Pergeseran itu, sebagaimana diketahui, tidak lain dalam rangka mengakomodir kesepakatan World Health Organization atau WHO untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC) atau sebuah sistem kesehatan yang memastikan bahwa setiap warga di dalam populasi, memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu dengan biaya yang terjangkau, serta terhindari dari risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan.
Sayangnya, pergeseran itu juga dibarengi dengan sejumlah permasalahan. Seperti salah satunya yang paling mengemuka ialah defisitnya arus kas BPJS Kesehatan, yang kian tahun kian menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan jumlah yang tidak sedikit. Menariknya, sebagaimana pernyataan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan juga Wakil Kementerian Keuangan didalam berbagai kesempatan, hal tersebut tidak terlepas dari keterkaitan pemerintah daerah yang seringkali tidak atau terlambat membayarkan premi kepersertaan peserta yang didaftarkannya.
Berdasarkan hasil temuan-temuan dari dokumen yang telah ditelusuri oleh TII, terdapat beberapa faktor yang dapat dikaitkan. Salah satunya ialah menyangkut kapasitas dan kemampuan fiskal masing-masing daerah yang berbeda satu sama lain, sehingga tidak jarang beberapa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ada yang tidak atau belum memenuhi amanat Undang-undang Kesehatan.
Adapun hal lainnya ialah menyangkut konfigurasi politik daerah yang seringkali mempengaruhi lamanya proses pengesahan APBD tahunan. Dalam hal ini, faktor terakhir inilah yang paling berpengaruh dalam mengakibatkan Pemerintah Pusat harus mengeruk APBN demi menambal defisit BPJS Kesehatan.
Kedepan, hal ini perlu untuk diperhatikan, dengan memperkuat Hubungan Pusat dan Daerah dalam instrumen-instrumen peraturan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang belaku, tanpa mengurangi esensi desentralisasi dan hakikat negara kesatuan itu sendiri.
Atau dengan alternatif lain, mengembalikan kewajiban penyelenggaraan jaminan kesehatan tersebut berdasarkan kapasitas dan prakarsa masing-masing daerah, disertai dengan beberapa penyempurnaan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini penting untuk menutupi beberapa celah atau kelemahan-kelemahan yang dahulu tidak terlingkupi.
Muhammad Aulia Y. Guzasiah
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
No. Hp: 08114666901
Email: auliaan@theindoneisaninstitute.com