Hingga saat ini hadirnya transportasi online masih menjadi polemik di ruang publik. Pada Kamis, 28 Juni 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan menolak permohonan uji materi perkara Nomor 41/PUU-XVI/2018 tentang ojek online yang diajukan para aliansi pengemudi ojek online yang tergabung dalam Komite Aksi Transportasi Online (KATO). Putusan MK menolak melegalkan transportasi online sebagai angkutan transportasi umum (tempo.co, 29/6).
Terlepas dari putusan tersebut, perkembangan teknologi yang tumbuh semakin pesat memang sangat sulit terhindarkan. Hadirnya transportasi yang berbasis online merupakan sebuah bentuk inovasi pada jasa transportasi. Hasil studi Agustin (2017) mengungkapkan hadirnya transportasi online mampu diterima positif oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi karena transportasi online mampu menyediakan penawaran yang praktis dan beragam, harga yang transparan serta adanya jaminan asuransi jiwa bagi pengguna.
Lebih luas, penulis mencermati hadirnya transportasi online ini mampu menciptakan multiplier effect terhadap perekonomian. Disamping dapat memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang ingin menjadi mitra pengemudi, hadirnya transportasi online juga memiliki potensi dalam merangsang perkembangan usaha skala kecil dan mikro. para pelaku usaha dapat memanfaatkan layanan aplikasi transportasi online sebagai sarana pemasaran produk. Strategi ini dirasa cukup efektif mengingat penggunan di masyarakat sudah sangat masif.
Di sisi lain, adanya transportasi online dapat meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya bagi mitra pengemudi. Proses rekrutmen yang relatif mudah memberikan insentif sebagian besar masyarakat untuk bekerja sebagai pengemudi ojek online. Mengacu hasil survei Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) tahun 2017, rata-rata penghasilan pengemudi ojek online adalah Rp 3,3 juta. Kemudian untuk data jumlah mitra pengemudi untuk satu penyedia layanan aplikasi transportasi online mengacu data Kemenhub yaitu 170 ribu orang (kontan.co.id, 13/3). Berdasarkan angka tersebut, penulis menganalisis akan ada potensi kontribusi yang diberikan mitra pengemudi ojek online terhadap perekonomian melalui pengeluaran konsumsi mencapai Rp 6,73 triliun setiap tahunnya.
Dampak Terburuk Jika Transportasi Online Dilarang
Jika polemik yang terjadi pada transportasi online sampai berujung pada larangan operasi, maka akan menimbulkan peningkatan beban angka pengangguran. Pasalnya, data yang tercatat saat ini jumlah pengemudi pada satu perusahaan penyedia transportasi online mencapai 175 ribu orang, angka tersebut berpotensi meningkat dua kali lipat mengingat belum mengakomodir penyedia aplikasi lain. Sehingga akan terdapat lebih dari 175 ribu orang menjadi pengangguran terbuka.
Selain itu, hasil survei LD FEB Universitas Indonesia menunjukkan sebanyak 75 persen rata-rata pengemudi ojek online di dominasi kalangan masyarakat lulusan SMA/SMK. Jika transportasi online tidak diijinkan beroperasi jelas akan meningkatkan beban angka pengangguran pada level pendidikan lulusan SMA/SMK. Kondisi tersebut semakin diperparah mengingat lulusan SMA/SMK merupakan penyumbang tertinggi angka pengangguran di Indonesia.
Transportasi Online Perlu Dikelola Secara Tepat
Studi menunjukkan bahwa kehadiran transportasi online telah berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian di Indonesia. Kehadiran transportasi online juga mempermudah mobilitas masyarakat dan mendorong pertumbuhan dunia usaha. Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan transportasi online juga perlu dikelola dengan tepat dan bijak agar tidak menimbulkan polemik. Keputusan MK tidak berarti bahwa pemerintah lepas tangan dan tidak mendukung keberadaan transportasi online.
Diperlukan langkah sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengelola keberadaan transportasi online, termasuk ojek konvensional atau ojek pangkalan. Hal ini harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan mengingat ojek online mampu menciptakan dampak positif bagi ekonomi serta keberadaannya saat ini juga sudah menyebar di berbagai wilayah Indonesia.
Riski Wicaksono, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, riski@theindonesianinstitute.com