Mahalnya tiket pesawat pada lebaran Idulfitri tahun 2019, membuat penulis harus kembali berhitung ulang jika ingin menggunakan moda transportasi udara. Pasalnya harga tiket pesawat via Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng-Bandar Lampung mencapai lebih dari Rp400.000. Untuk maskapai Sriwijaya Air saja harganya Rp532.200,00, sementara untuk Garuda Indonesia kami harus mengeluarkan rupiah yang lebih besar diangka Rp621.700,00. Adapun untuk tiket Lion Air sedikit lebih murah sekitar Rp450.600,00. itu baru perjalanan Jakarta-Bandar Lampung.
Sementara untuk sampai ke Kampung Halaman di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, kami harus kembali melanjutkan perjalanan dari Bandara Radin Intan II menggunakan pesawat kecil dan mendarat di Bandara M. Taufik Kiemas dengan menumpang pesawat Wings Air dengan harga tiket sekitar Rp400,000-an. Paling tidak untuk sampai ke Kota Krui, Kabupaten Pesisir Barat kami harus merogoh dompet RP 2 juta untuk perjalanan arus mudik dan arus balik lebaran untuk 1 orang. Bagaimana jika satu keluarga? pastinya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Merasa tak mampu, kami memutuskan menunpang Kereta Api Commuter Line dari Stasiun Tanah Abang-Rangkas Bitung, dengan tarif tiket Rp 7.000, lalu melanjutkan perjalanan dengan menumpang kereta api lokal Rangkas Bitung-Merak dengan harga tiket yang sama. Lalu lanjut menumpang kapal Fery dengan tiket Rp15.000 ke Bakauheni. Perjalanan selanjutnya kami harus menumpang bis menuju Bandar lampung dengan tiket Rp 50.000 an. Jakarta-Bandar Lampung total kami hanya mengeluarkan sekitar Rp 80.000 rupiah. Kemudian lanjut menumpang bus ke Kota Krui dengan tiket Rp100.000 ribu total perjalanan Jakarta-Krui kami hanya mengluarkan Rp180.000-Rp200.000
Sekelumit cerita perjalanan ini, mengindikasikan bahwa tarif pesawat dengan transportasi darat atau laut bagai langit dan bumi. Tidak bermaksud membandingkan, hanya saja pertanyaannya kapan masyarakat dengan penghasilan menengah bisa menikmati mudik dengan menumpang moda transportasi pesawat?
Sebenarnya pemeritah tidak tinggal diam dalam rangka membuat tiket pesawat ini terjangkau. Namun toh hingga hari ini polemik tiket pesawat masih tak terbeli masih terjadi, pemerintah bagai macan ompong tak bergigi menghadapi dua maskapai yang telah berkuasa di dalam negeri. Masyarakat kelas karyawan dengan penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan sejatinya tidak akan mampu menikmati perjalan mode transportasi udara ini.
Lantas apa saja permasalahan klasik yang terus mengusik masyarakat dari maskapai udara yang tarifnya melambung tinggi tak terbeli itu?
Fakta-fakta Polemik Tiket Pesawat yang Tak Terbeli
Kami lantas mencoba mengkonfirmasi beberapa Ekonom, salah satunya dari Indef, Abra Tallatov, terkait permasalahan klasik yang terus mengusik kemanusiaan ini. Menurutnya, ada banyak borok yang tentunya harus diobati jika ingin tarif pesawat udara kembali normal, beberapa permasalahan sebenarnya yang susah diputus dan menyebabkan tiket pesawat melambung. Selain itu Ekonom The Indonesian Institute, Muhamad Rifki Fadilah juga memberikan penjelasan soal mahalnya tiket pesawat ini. Berikut poin-poinnya:
- Duopoli Struktur Pasar
KPPU mengindikasikan, bahwa struktur pasar industri penerbangan di Indonesia sejatinya didominasi dua ‘klan’ maskapai besar, Garuda Indonesia Grup dan Lion Air Grup. Indikasi struktur pasar terjadi duapoli itu bisa saja membuat dua klan besar maskapai udara ini melakukan kerja sama terkait pengaturan harga tiket antar maskapai yang pada akhirnya menghasilkan keuntungan luar biasa.
Pasalnya kedua grup maskapai penerbangan domestik ini menguasai sebagian besar aset sehingga terasa sulit untuk masakapai lain yang kecil-kecil untuk bersaing dengan dalam industri penerbangan domestik. Kendati demikian KPPU belum menemukan bukti yang bisa menjerat kedua maskapai tersebut sebab pada dasarnya Duopoli bukan pelanggaran.
“Kalau kita lihat akar masalahnya karena ada indikasi kartel. Dimana struktur pasarnya duopoli, terjadi penguasaan terhadap aset sebanyak 83 persen yang mereka (Dua Maskapai Besar) memiliki,” katanya.
- Biaya Operasional Gunakan Dolar AS
Masalah lain yang juga menjadi biang kerok mahalnya tiket pesawat lantaran biaya operasional yang sebagian besar menggunakan dolar AS. Menurut Ekonom Abra Tallatov, masalah ini membuat struktur pembiayaan membengkak bahkan ditaksir mengalami kenaikan sekiatar 80 persen biaya operasioal.
Lantas apa saja pengeluaran terbesar dari polemik tiket pesawat yang tak kunjung rampung ini? Ternyata antara lain biaya perawatan, belum lagi maskapai harus impor suku cadang termasuk jika ingin mendatangkan armada pesawat baru, dan semuanya mengunakan dolar AS. Lemahnya rupiah dihadapan dolar bukan persoalan kaleng-kaleng yang harus dinafikan namun harus dicarikan solusinya.
“Penyebab lain mahalnya tarif pesawat karena biaya operasional struktur biayanya mengalami kenaikan karena 80 persen baiaya operasional menggunakan dolar,” katanya.
- Monopoli Bahan Bakar Avtur
Penguasaan Avtur oleh perusahaan migas Plat Merah (Pertamina) juga dinilai salah satu biang kerok industri penerbangan, Ekonom The Indonesian Institute, Muhamad Rifki Fadilah mengatakan yang menjadi masalah kebisingan berikutnya adalah mahalnya harga Avtur. Pasalnya jika dibandingkan dengan harga avtur yang dijual di luar negeri semisal di singapura dan Malaysia.
Merujuk data avtur bulanan (weekly) dari aeroportos.weebly.com, harga bahan bakar pesawat (jet fuel) di Changi Airport Singapura dijual USD 2,02 per galon dan di Kuala Lumpur International Airport Malaysia ditetapkan USD 2,07 per galon. Sedangkan harga avtur termurah di Indonesia ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang. Harga avtur di Indonesia pada Januari 2019 ditetapkan USD 2,14 per galon. Kemudian menyusul Bandara Juanda Surabaya USD 2,32 per galon, Bandara Ngurah Rai Denpasar USD 2,37 per galon, Bandara Kualanamu Sumatera Utara USD 2,41 per galon.
“Mahalnya Avtur karena pihak Pertamina kurang efisien menyediakan bahan bakar, karena itu tak heran sebagai pemain tunggal jika pertamina dianggap melakukan monopoli,” katanya.
- Dugaan Kartel
Masalah lain yang juga bising disuarakan adalah adanya dugaan praktik kartel antara dua grup industry penerbangan itu, salah satunya, termasuk penyelidikan adanya joint operation di dalam masing-masing group penerbangan tersebut.
Aroma kartel makin lengkap dengan praktik rangkap jabatan salah satu Direktur Garuda Indonesia yang menjadi Komisaris di Maskapai Sriwijaya Air.
“Ada indikasi persaingan tidak sehat. Kan kalau kita lihat akar masalah nya karena indikasi kartel disitu,” kata Abra.
- Ada Tarif Batas Atas dan Bawah
Mengkaji kembali batas atas dan batas bawah mengingat hal tersebut tidak efektif menekan harga kembali ke posisi semula. Menerbitkan izin baru bagi perusahaan penerbangan lain di dalam negeri, khususnya yang berasal dari dalam negeri. Jika tidak yang mau maka terpaksa dari luar negeri.
Karena itu, menurutnya solusi yang paling tepat adalah menghapuskan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Sebab hal itu lah yang menyebabkan kedua Maskapai ini sulit untuk melakukan persaingan sehat karena mereka saling cari aman. maskapai udara menjual dengan harga mahal tidak hanya dalam kondisi peak season tapi juga low season.
“Solusinya harusnya kebijakan tarif batas atas dan bawah bawah itu dicabut,” pungkasnya.
Langkah Pemerintah Benahi Transportasi Udara
Menjawab banyaknya permasalahan yang belum terselesaikan tersebut, sebenarnya pemerintah tidak diam saja sudah banyak kebijakan yang dilakukan. Termasuk mencoba mengatur tarif batas atas dan bawah, berencana mengundang maskapai asing hingga mengingatkan pertamina terkait penjualan avtur.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, beberapa masalah menjadi sorotan, salah satunya adalah inefisiensi di maskapai nasional, namun sekarang sudah lumayan diperbaiki. Kemudian pembelian pesawat oleh maskapai yang kurang tepat dan itu sudah terjadi sejak lama.
Kendati demikian, Menko Luhut menyakinkan masyarakat bahwa masalah tersebut satu per satu sedang diperbaiki. Demi memberikan perlindungan terhadap pegguna transportasi udara.
“Sekarang juga sudah mulai diperbaiki. Kemudian ada lagi harga avtur yang terlampau tinggi,” katanya.
Menko Luhut memastikan, pemerintah tidak berdiam diri dan terus berupaya mencari jalan keluar tanpa harus mengorbankan masyarakat dan juga maskapai penerbangan nasional.
“Secara bertahap akan kami perbaiki, tetapi memang harga itu juga terpaksa dinaikkan, secara gradual. Namun itu di sektor yang orang mampu dan di sektor yang kurang mampu tetap harus kita subsidi,” katanya.
Harga tiket tetap akan disesuaikan, tapi ada rute tertentu yang akan diberikan potongan harga. Saat ini, pemerintah ingin ada 2-3 suplier avtur yang memasok bahan bakar maskapai udara dan diprioritaskan dari dalam negeri. Sehingga permasalahan tingginya tiket pesawat bisa dibenahi.
Sumber : Akurat.co