Puncak tahun politik yang sudah dilewati setelah hari pencoblosan dan gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 kemarin membawa kita ke dalam momen yang tepat untuk melakukan evaluasi. Tulisan ini menjadi refleksi tentang ruang digital yang selama gelaran Pilpres 2019 kemarin penuh sesak oleh dukungan, hujatan, kampanye, hingga isu-isu yang tidak terverifikasi.
Ruang digital yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah jejaring komunikasi yang diaplikasikan melalui perangkat keras. Jejaring komunikasi tersebut semakin menunjukkan tingkat keperduliannya pada persoalan publik, sehingga membuat ruang digital juga bisa dimaknai sebagai salah satu ruang publik di era informasi dan teknologi kontemporer (Hardiman dalam Hasfi, 2014).
Lalu, fokus bahasan pada Pilpres dalam tulisan ini dipilih dengan kesadaran bahwa panggung pemilu serentak kemarin memang dikuasai oleh ekspos pemilihan eksekutif. Oleh karena itu, ranah pemilihan legislatif yang terselenggara secara serentak mengalami kesulitan dalam mendapatkan porsi perbincangan.
Untuk memberi gambaran bagaimana gemuruhnya perbincangan Pilpres 2019 di dunia digital, tulisan ini merujuk pada hasil survei dari PoliticaWave. Lembaga ini berhasil memotret perbincangan yang terjadi di salah satu ruang digital, yaitu media sosial, dalam dua periode. Hasilnya, pada periode 28 Januari 2019 – 4 Februari 2019, total percakapan di media sosial terkait Pilpres 2019 mencapai angka 1,8 juta. Percakapan tersebut dilakukan oleh 267 ribu warganet.
Tren ini meningkat di periode 5-11 April 2019. Sebanyak 434 ribu warganet melakukan total 4,5 juta percakapan soal Pilpres 2019 (tribunnews.com, 13/4). Kenaikan ini tentu menjadi konsekuensi yang logis mengingat hari pencoblosan berlangsung pada 17 April 2019.
Penting menjadi perhatian manakala ruang digital, tempat tanpa sekat dan tak terbatas, didominasi oleh perbincangan tertentu saja. Warganet akhirnya tidak mendapat varian isu lain, yang mungkin saja memiliki derajat kepentingan melebihi urusan elektoral.
Padahal, ruang digital dapat menjadi medium bagi warganet untuk mengkonsolidasikan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi, yang pada akhirnya bisa membentuk opini mereka tentang sebuah urusan publik.
Disayangkan, berjuta perbincangan tentang Pilpres 2019 membuat skema penghimpunan aspirasi secara digital menjadi kabur. Warganet lantas menjadi pengikut arus dari perbincangan utama. Ditengarai, fenomena seperti ini memiliki potensi untuk terjadi kembali di tahun-tahun politik yang akan datang.
Pendudukan Ruang Digital oleh Kalangan Elit
Media sosial lantas menjadi arena yang dikapitalisasi untuk mengamplifikasi isu-isu bermuatan politis. Sosok seperti Andi Arief, Ferdinand Hutahean, Guntur Romli, menjadi contoh elit-elit yang secara kontinu membangun perbincangan yang berkaitan dengan para kandidat Pilpres 2019. Wacana yang dilontarkan para elit ini membuat corak ruang digital didominasi oleh isu-isu elektoral. Ditambah lagi, perbincangan tersebut diperkuat persebarannya oleh para simpatisan kedua kandidat yang juga aktif di media sosial.
Warganet kemudian lupa bahwa selain isu yang berkaitan dengan pemilu, banyak fenomena lain yang sebenarnya perlu diberikan sorotan dan diawasi secara berkelanjutan. Arah sorotan itu semisalnya ditujukan pada pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan wacana merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dua contoh tersebut diambil dengan mempertimbangkan derajat implikasi sebuah regulasi yang bersifat mengikat secara umum ketika sudah disahkan. Dengan kata lain, semua lapisan masyarakat memiliki kewajiban untuk mematuhi rambu-rambu yang ada di dalam sebuah peraturan yang sudah sah menjadi UU, termasuk warganet yang beraktivitas di ruang digital.
Namun, yang kadung terjadi di rangkaian Pilpres kemarin adalah pendiktean isu di media sosial oleh kalangan yang memiliki kepentingan dengan gelaran Pilpres. Mungkin di momen-momen tertentu, seperti saat vonis kasasi Baiq Nuril yang diputuskan pada bulan November 2018 (tempo.co, 14/12/2018), beberapa respon juga muncul dari kalangan elit. Disayangkan, wacana yang muncul justru tetap dibungkus dengan nuansa politis. Seperti komentar yang dilontarkan politikus Partai Demokrat, Ferdindan Hutahaean melalui akun twitternya @Ferdinand_Haean, yang pada intinya mengkritik pemerintahan Jokowi dan penegakan hukum yang tidak berpihak pada korban.
Kemunculan perbincangan dengan nada serupa justru membuat warganet lupa tentang persoalan yang sejatinya harusnya terus disuarakan. Kondisi seperti ini menjadikan warganet terhalang dalam memproduksi urusan-urusan bermuatan publik melalui medium dunia digital. Apa yang dimaksud sebagai urusan publik akhirnya dikooptasi oleh kalangan tertentu di momen Pilpres 2019 kemarin.
Lantas, sebelum musim politik itu kembali menghiasi dan mendominasi ruang digital, warganet harus bisa mempersiapkan diri agar tidak kembali kalah saing dalam menguasai panggung media sosial. Warganet harus bisa memanfaatkan momen cari panggung para elit politik tersebut dengan menyodorkan urusan publik yang diproduksi dari diskursus, bukan giringan elit politik.
Diharapkan kemudian, urusan publik hasil manipulasi elit politik tidak akan kembali hadir dan menyeret warganet dari kesadaran akan permasalahan publik yang sebenarnya.
Rifqi Rachman
Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research