Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS) terdapat ayat-ayat dan pasal-pasal yang bertabrakan dengan RUU Keamanan Nasional yang disiapkan oleh pemerintah.
“Ini menjadi persoalan. Tapi ini sudah berjalan, dan kawan-kawan di partai mengambil kesepakatan untuk tidak memperdebatkan masalah itu, yang penting di ketok palu dulu, sama seperti RUU Penyelenggara Pemilu yang masih banyak catatan-catatan,” ujar anggota Komisi II DPR Basuki Tjahaya Purnama usai acara Diskusi Bercumbu Dengan Konflik di The Indonesian Institute, Jakarta, Kamis, 3 Maret 2011.
Untuk itu, ia berharap masyarakat memberikan masukan agar jangan sampai ada pasal-pasal yang isinya kurang mencakup yang luas. Misalnya konflik bola yang sebelumnya tidak terpikirkan. Saat ini, RUU PKS masih dalam tahapan penyusunan.
Menurutnya, RUU ini untuk merevisi Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2005 tentang RPJMN Pemerintah dan DPR mendorong konvensi PBB tentang perlindungan perempuan di wilayah konflik. Dan ternyata di perjalanannya, tidak terjadi revisi, tapi membuat UU baru. “Dasar pemikiran lain dibuatnya UU ini, seolah-olah pemerintah kita tidak punya dasar hukum untuk penyelesaian konflik,” tuturnya.
Basuki menjelaskan, PP No 7 Tahun 2005 melukiskan RPJMN Pemerintah sangat menggaris bawahi Indonesia yang rukun, bersatu, aman dan damai. Akan tetapi alih-alih membangun sebuah tipologi penanganan konflik sosial secara konstruktif, sistematis dan komprehensif, pemerintah melakukan pendekatan penanganan konflik sosial dengan cara-cara militeristik/represif. Cara penanganan konflik yang militeristik ini tidak hanya bagi konflik vertical yang ingin memisahkan diri dari NKRI (gerakan-gerakan separatis) tetapi juga pada konflik horizontal dalam masyarakat.
Sumber: Nextindonesia.com.