Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bergerak taktis sedari dini dengan mengumumkan nama-nama yang diusung dalam kontestasi Pilkada 2020 mendatang. Pengumuman yang dilakukan pada Rabu pekan lalu menghasilkan 98 nama dari 49 daerah yang turut melangsungkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun ini. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan pengumuman ini adalah gelombang pertama yang akan diikuti dengan pengumuman daerah lainnya.
Sosok petahana di pemerintahan daerah mendominasi daftar nama yang dikeluarkan oleh PDIP. Keputusan tersebut menjadi logis dengan mengasumsikan Pilkada 2020 sebagai langkah pertama menuju pertarungan nasional selanjutnya: Pemilu 2024. Torehan kemenangan sebanyak dua kali (Pemilu 2014 dan Pemilu 2019) barang tentu mendorong partai ini agar tetap berada di peringkat teratas. Oleh karenanya, memilah dan memilih kandidat yang diusung menjadi krusial bagi PDIP.
Mengusung yang Busung
Untuk menguatkan asumsi tersebut, penulis melakukan eksplorasi lebih lanjut dari nama-nama yang mendapatkan rekomendasi PDIP untuk bertarung di Pilkada 2020. Pencarian profil dan latar belakang dilakukan pada nama yang ada di dalam daftar. Kumpulan informasi tersebut lantas menghadirkan beberapa hal yang bisa ditarik sebagai tren ataupun fenomena.
Keberadaan petahana, yang juga sempat disebutkan oleh PDIP, memang memiliki kuantitas yang besar. Jumlahnya mencapai 53 dari 98 orang, baik yang menjabat sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Kekuatan besar ini tentu dipertahankan dan diutamakan oleh PDIP, mengingat petahana memiliki keunggulan tersendiri.
Temuan dari Andi Muh. Dzul Fadli, dkk (2018) mencatat bahwa kelebihan petahana ada di soal bentuk kekuasaan yang ia miliki, yaitu kekuasaan yang terlihat (visible power), kekuasaan yang tersembunyi (hidden power), dan kekuasaan yang tak terlihat (invisible power). Tiga bentuk kekuasaan menubuh di dalam program petahana yang menjadi nilai jual, potensi politisasi birokrasi, serta optimalisasi peran aktor informal kemudian menjadi faktor yang memperbesar probabilitas kemenangan petahana dalam Pilkada.
Hal menarik lain dari petahana adalah pencalonan sejumlah wakil kepala daerah penjabat yang diusung PDIP sebagai bakal calon kepala daerah. Tren ini dapat menjelaskan dua hal. Pertama, bahwa kepala daerah penjabat sudah menjalankan masa baktinya selama dua periode sehingga tidak bisa kembali mencalonkan diri. Oleh sebab itu, wakil kepala daerah menjadi pilihan yang rasional. Selain persoalan periode jabatan, perkawinan politik yang menemukan arah berlawanan juga menjadi penyebab hadirnya bakal calon kepala daerah dari wakil kepala daerah penjabat. Keputusan pisah kongsi tersebut tentunya dilandasi dengan tiga modal bentuk kekuasaan yang diperoleh petahana sehingga berani memutuskan untuk berpisah.
Fenomena selanjutnya yang menarik untuk diperhatikan adalah jumlah kader internal yang dicalonkan oleh PDIP. Hasil olah data penulis menunjukkan bahwasanya PDIP melakukan pencalonan kader internalnya sebanyak 79% dari total pasangan calon yang diumumkan di gelombang pertama. Belum lagi dalam persentase tersebut terdapat pasangan calon yang keduanya merupakan kader PDIP. Ini menunjukkan keberhasilan proses kaderisasi PDIP di 49 daerah yang tidak lepas dari besaran suara yang didapatkan di tiap-tiap kawasan tersebut. Dicalonkannya 16 Ketua dan 1 Wakil Ketua DPC PDIP setidaknya bisa memberi gambaran bagaimana partai ini memperhitungkan kader internalnya secara pantas.
Akan tetapi, di antara angka-angka yang merepresentasikan eksistensi kader PDIP masih ditemukan segelintir pasangan calon non-kader yang mendapatkan rekomendasi dari Jalan Diponegoro. Ini bisa disebabkan beberapa hal, pertama, keberadaan kekuatan lokal yang besar dan berada di luar struktur pdip (non-kader). Kedua, tidak adanya opsi kader partai yang bisa hadir sebagai alternatif atau lawan sebanding dengan kekuatan di level lokal tersebut. Maka tidak heran model dukungan seperti ini banyak ditemui dalam momen-momen pemilihan kepala daerah.
Usia Panjang Pragmatisme
Menanti koalisi yang terbentuk dari rekomendasi gelombang pertama oleh PDIP juga tidak kalah menarik. Dengan dominasi petahana dan kader internal, kemungkinan yang timbul sedikit banyak akan memposisikan PDIP sebagai pemain sentral dalam Pilkada 2020 di 49 daerah ini. Namun, pragmatisme dalam membentuk koalisi antara partai politik di daerah masih amat mungkin terjadi.
Olah data yang dilakukan penulis menunjukkan adanya koalisi-koalisi “unik” dari 49 pasangan calon yang mendapat rekomendasi PDIP. Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) menjadi contoh yang paling kontras dengan pencalonan Fachri Husni Alkatiri, yang notabene merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bersama dengan Ketua DPC PDIP SBT, Arobi Kelian. Fachri sendiri diusung oleh Gerindra, Demokrat, Golkar dan PPP pada Pilkada 2015, dan tidak diusung oleh PDIP kala itu. Secara terang, realita ini menunjukkan tingkat fleksibilitas yang tinggi dari pembentukan koalisi partai pada kontestasi lokal.
Pendekatan berbasis ideologi tidak lagi menjadi sajian utama dalam kontestasi Pilkada. Moch. Nurhasim (2018) dalam tulisannya menyebut fenomena ini sebagai “koalisi nano-nano” sebab pendekatan koalisi tidaklah linear dari setiap jenjang, tetapi menyesuaikan bentuknya dengan konteks jumlah kursi partai di DPRD. Tentunya, pendekatan koalisi seperti ini mendatangkan kerugian bagi publik, sebab memiliki potensi menghadirkan kandidat tunggal.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa basis keikutsertaan partai politik dalam kontestasi adalah kemenangan. Terlebih, kemenangan di level lokal seringkali memberikan sedikit jaminan manakala partai menghadapi kontestasi di level nasional. Namun, yang juga patut dipertahankan adalah ideologi sebagai entitas dasar partai politik.
Akhirnya, pergerakan PDIP dalam menghadapi Pilkada 2020 patut untuk terus diikuti. Agar bersama kita dapat melihat langkah lanjutan dari partai ini, salah satunya dalam memberikan rekomendasi pada calon kepala daerah gelombang kedua. Apakah dengan mencalonkan kekuatan yang sudah mapan di level lokal menjadi strategi aman yang dipilih PDIP? Tentu waktu akan memberikan jawabannya.
Rifqi Rachman
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research