Dilema PDIP, Antara Ganjar dan Puan

Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 yang semakin dekat membuat beberapa nama calon presiden potensial mencuat beserta dukungan dari partai politik. Sebut saja Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon presiden di Pemilu 2024 dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra pada 12 Agustus 2022. Selain itu, ada pula nama Anies Baswedan yang dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai calon presiden tahun 2024 pada 3 Oktober 2022.

Dukungan dari partai politik terhadap calon presiden tersebut memang dibutuhkan, mengingat adanya aturan pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atau memperoleh 25 persen  dari suara sah secara nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Artinya, partai politik menjadi gatekeeper dalam pencalonan presiden sehingga dapat dikatakan sebagai pihak yang paling berperan.

Mengingat pentingnya peran partai politik, menjadi sebuah pertanyaan mengapa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai pemenang di Pemilu tahun 2019 sampai saat ini belum membuat keputusan mengenai siapa calon presiden yang akan didukung di Pilpres tahun 2024 mendatang. Hal ini disinyalir karena PDIP sedang mengalami dilema karena memiliki dua nama calon kuat untuk dimajukan, yaitu Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.

Selain karena Puan Maharani yang merupakan anak perempuan dari Megawati Soekarnoputri, Puan juga telah melalui serangkaian proses mulai dari menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ketua Fraksi PDIP di DPR RI, Menteri di Kabinet Kerja Pemerinah Joko Widodo, hingga menjadi Ketua DPR RI yang ia emban saat ini. Artinya, kapasitas Puan untuk menjadi calon presiden di pPemilu 2024 sudah tidak diragukan lagi. Meski demikian, elektabilitas Puan Maharani sampai saat ini tidak terlalu menggembirakan. Hasil survei nasional Poltracking Indonesia pada bulan Agustus 2022, menempatkan Puan Maharani di peringkat 5 dari 10 calon presiden potensial dengan elektabilitas sebesar 6,5 persen.

Di sisi lain, PDIP juga tidak bisa menampik bahwa salah satu kadernya, yaitu Ganjar Pranowo, memiliki elektabilitas yang tinggi, dan bahkan dapat dikatakan paling tinggi saat ini. Nama Ganjar Pranowo selalu berada di urutan pertama di antara dua calon presiden lainnya yang saat ini sudah dideklarasikan, yaitu Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Grafik 1 berikut menunjukkan tiga nama calon presiden potensial dengan tingkat elektabilitas tertinggi berdasarkan tiga lembaga survei.

 

Grafik 1. Tiga Nama Calon Presiden Potensial dengan Tingkat Elektabilitas Tertinggi Berdasarkan Tiga Lembaga Survei

Sumber: Diolah dari rilis survei Charta Politika, SMRC, dan Poltracking Indonesia, 2022.

 

Selain melihat elektabilitas, kinerja Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah juga dinilai cukup baik. Tulisan Hidayah (2022) dengan judul “Membandingkan Performa Empat Kepala Daerah di Bursa Pilpres Tahun 2024”, memperlihatkan bahwa Khofifah Indar Parawansa dan Ganjar Pranowo menjadi kepala daerah terbaik jika dibandingkan dengan kepala daerah lainnya yang masuk dalam bursa pencapresan, yaitu Ridwan Kamil dan Anies Baswedan (Kumparan, 2022). Melihat fakta tersebut, serta pengalaman PDIP di Pemilu tahun 2014 dan 2019 yang mengusung calon dengan elektabilitas tinggi yaitu Joko Widodo dan mendapatkan hasil yang memuaskan, maka PDIP perlu untuk realistis dengan memajukan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden di Pemilu tahun 2024 mendatang.

Lantas, bagaimana dengan Puan Maharani? Jika saat ini menjadi presiden tidak cukup memungkinkan, maka menjadi Ketua Umum PDIP dirasa layak dan sangat memungkinkan untuk Puan. Alasannya sederhana, PDIP saat ini dikenal dengan “trah Soekarno”. Oleh karena itu, menjadikan Puan Maharani sebagai Ketua Umum PDIP akan membuat trah tersebut tetap terjaga, sekaligus jika aspek trah ini masih dianggap sebagai kekuatan PDIP.

Pertanyaannya: Jika demikian skenarionya, apakah posisi ini dianggap cukup untuk menjamin Puan menjadi calon presiden dari PDIP yang dianggap siap dan memungkinkan di Pemilu tahun 2029, jika memang ia akan dipersiapkan untuk itu? Kita lihat dinamika politik di PDIP selanjutnya.

Selain itu, safari politik Puan Maharani dengan berkunjung ke beberapa partai politik beberapa waktu lalu juga dapat menjadi latihan bagi Puan untuk membentuk koalisi nantinya, baik koalisi untuk memenangkan Ganjar Pranowo, ataupun koalisi partai politik di parlemen. Kemampuan bernegosiasi dengan partai politik lain, serta mengambil sikap atas komunikasi politik yang telah dilakukan, dapat menjadi modal penting bagi Puan Maharani jika nantinya dipercaya menjadi Ketua Umum PDIP.

Menarik untuk melihat langkah politik yang akan diambil oleh PDIP kedepannya, khususnya langkah politik Puan Maharani. Apakah PDIP tetap mencalonkan Puan Maharani di pemilihan presiden walaupun berisiko setelah mempertimbangkan peta politik yang ada? Atau mundur selangkah dan mempersiapkan tahta lain, yaitu menjadikan Puan Maharani sebagai Ketua Umum PDIP?

Atau mungkin saja, Puan Maharani saat ini hanya bermain peran seakan-akan mengincar kursi presiden, padahal sejatinya mengincar kursi orang nomor satu di PDIP? Pengalaman di Partai Demokrat dengan politik oligarki telah membuktikan hal itu. Bagaimana dengan PDIP? Hanya waktu yang akan menjawab.

Lagi-lagi, partai politik di Indonesia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah dalam mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi kandidat-kandidat yang mumpuni untuk berlaga dalam kontestasi politik.

Reformasi internal dan penguatan kelembagaan partai politik, perbaikan demokrasi partai politik dan cara partai bekerja, serta regenerasi dalam mencetak kader pemimpin bangsa masih harus ditindaklanjuti.

 

Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

ahmad@theindonesianinstitute.com 

Komentar