Bank Indonesia atau BI dalam Rapat Dewan Gubernur atau RDG memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate tahun 2019. Suku bunga acuan BI tetap berada di level 6 persen.
Ekonom The Indonesian Institute, Muhamad Rifki Fadilah menilai kebijakan ini bersifat akomodatif, responsif serta mengedepankan prinsip kehati-hatian dengan adanya risiko terhadap pelemahan kurs Rupiah.
“Keputusan ini tepat meskipun saat ini ada beberapa indikator ekonomi yang menunjukkan penguatan ekonomi Indonesia dan berpeluang untuk menurunkan suku bunga seperti tren inflasi yang terkendali dan cenderung melandai,” kata Rifki melalui pernyataan tertulis diterima Tempo, 20 Juni 2019.
Rifki mengatakan, secara umum nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah menguat dan IHSG mengalami tren yang sama. BI sudah menahan suku bunga ini selama enam bulan selama 2019. Adapun suku bunga Deposit Facility (DF) tetap di level 5,25% dan Lending Facility (LF) pada level 6,75%.
Dia mengingatkan kepada pemerintah Indonesia, saat ini belum sepenuhnya aman untuk menurunkan suku bunga mengingat masih adanya eskalasi ketegangan perdagangan antar negara-negara di dunia kian meningkat.
Jadi menurutnya, BI tidak harus mengambil kebijakan menurunkan suku bunga acuannya.
“Khususnya kemungkinan memanasnya perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China dan berpengaruh dalam menurunkan volume perdagangan dunia,” ujar Rifky.
Rifki menambahkan, BI harus tetap waspada dengan salah satu indikator yang cukup penting sebelum merubah stance kebijakannya, yaitu defisit neraca transaksi atau Current Account Deficit (CAD), karena saat ini defisit CAD Indonesia masih melebar.
Data terbaru BI menunjukkan defisit CAD tercatat sebesar USD 7 miliar pada triwulan I-2019 atau sebesar 2,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Rifki, defisit itu meningkat dibandingkan periode sama 2018 sebesar 5,5 miliar dollar. Meskipun demikian, capaian tersebut di bawah catatan CAD pada triwulan IV-2018 sebesar 9,2 miliar dollar AS atau sebesar 3,6 persen dari PDB.
Dia mengungkapkan, apabila defisit transaksi berjalan tak dapat diimbangi dengan pasokan devisa dari portofolio keuangan seperti hot money, maka neraca pembayaran Indonesia (NPI) pun bukan tidak mungkin bakal terjun bebas. Hal itu menandakan keseimbangan eksternal jomplang karena devisa yang keluar lebih banyak dibandingkan yang masuk. Kondisi ini tentu juga tidak baik bagi perekonomian domestik.
“Inilah yang memberatkan BI untuk mengerek turun suku bunganya. Memangkas suku bunga tidaklah semudah membalikkan tangan,” ujarnya. Rifki mengapresiasi kinerja BI yang sudah mengemban misi untuk menjaga stabilitas dan pro pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik kedepannya.
Sumber: Tempo.co