Bagaimana Jika Politik Dinasti Langgeng di Indonesia?

Prabowo Subianto akhirnya berpasangan dengan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakni Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Dipasangkannya kedua tokoh ini menuai  kontroversi di masyarakat, karena dituduh melanggengkan politik dinasti di Indonesia. Tuduhan ini berawal dari dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.

Putusan MK itu kemudian dianggap memberikan peluang kepada Gibran untuk dapat mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres. Selain itu, tuduhan politik dinasti juga tidak lepas dari adanya dugaan kelalaian prosedural di MK dalam mengesahkan salah satu gugatan syarat menjadi calon wakil presiden, dimana institusi ini diketuai oleh Anwar Usman yang notabene adik ipar Presiden Jokowi. Hal ini yang kemudian menjadi pembenaran dari beberapa pihak atas tuduhan adanya politik dinasti dalam Pemilu 2024.

Terlepas dari tuduhan politik dinasti pada Pemilu 2024, kekhawatiran mengenai hegemoni politik dengan sistem patronase dan hubungan kekerabatan ini bukan tanpa alasan. Beberapa penelitian mencatat besarnya potensi korupsi dan juga tindak penyelewengan lain yang dilakukan oleh dinasti politik tertentu (Agustinus, 2014). Hal ini dibuktikan dalam beberapa kasus yang terjadi misalnya kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang dilakukan oleh Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Atut merupakan kakak kandung dari Tubagus Chaeri Wardana yang divonis 5 tahun oleh MA dengan kasus yang sama. Pada 2021, terdapat kasus dugaan jual beli jabatan kepala desa yang dilakukan oleh Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari dan Anggota DPR Fraksi Nasdem, Hasan Aminuddin di mana keduanya merupakan pasangan suami istri.

Ironisnya, fenomena tersebut diperparah dengan catatan Yoes Kenawas, pengamat politik dari Universitas Parahyangan, yang menunjukkan sebanyak 202 calon kepala daerah terlibat dalam pilkada sepanjang tahun 2015-2018 dan terkait hubungan politik dinasti. Dari jumlah tersebut, 117 di antaranya berhasil dipilih dan 85 lainnya kalah. Sejalan dengan hal ini, Ray Rangkuti, selaku Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, menyampaikan catatannya dalam The Indonesian Forum Series ke-101 bahwa setidaknya dari 2013 hingga hari ini, tercatat ada 16 daerah yang mempraktikkan dinasti politik dan berakhir dengan kasus korupsi di KPK.

Negarawan Inggris, Lord Acton menyampaikan bahwa “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, pesan ini secara implisit ingin menyampaikan bahwa sumber dari korupsi adalah kekuasaan, lebih tepatnya adalah kekuasaan yang bersifat absolut. Dalam hal ini, kekuasaan yang dipegang oleh sebagian besar orang yang berasal dari garis keturunan yang sama juga akan melanggengkan tindakan korupsi karena kurangnya mekanisme check and balances.

Setidaknya, apabila politik dinasti terus menerus dinormalisasi, terdapat tiga dampak negatif yang nyata akan dihadapi. Pertama adalah fungsi pengkaderan partai politik yang tidak berjalan dengan optimal. Hal ini dikarenakan rekrutmen partai akan berfokus pada orang-orang yang memiliki basis pendukung kuat, yang biasanya dimiliki oleh orang-orang dengan hubungan kekerabatan politik. Tumbuh  suburnya  dinasti  politik  tidak terlepas  dari  peran partai  politik  dalam  proses  rekrutmen  politik.  Oligarki  di  tubuh  partai  politik  menyebabkan mekanisme   kandidasi   dan  pencalonan   tidak  berjalan   sebagaimana  mestinya.  Selama  ini terdapat  kecenderungan  pencalonan  kandidat  oleh  partai  politik  berdasarkan  keinginan  elit partai,  bukan  melalui  mekanisme  yang  demokratis  dengan  mempertimbangkan  kemampuan dan  integritas  calon.Praktik  ini  akan  mengabaikan  hak  setiap  orang  dalam  berpolitik  dan berdemokrasi di Indonesia.

Kedua adalah tertutupnya akses dan kesempatan berpolitik untuk semua orang. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada orang-orang sama yang berasal dari kelompok sama sehingga menutup kemungkinan adanya kader handal dan berkualitas lain untuk bisa bergabung. Ketiga adalah rusaknya cita-cita demokrasi yang baik dan bersih. Tidak adanya pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat karena fungsi kontrol kekuasaan yang jadi melemah dan tidak berjalan efektif. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (Alvina, 2022).

Politik dinasti bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di  negara  yang  demokratis.  Politik  dinasti  lebih  tepat untuk diterapkan di  negara  dengan  sistem  pemerintahan monarki,  dimana  untuk  memilih  pemimpin  berdasarkan  garis  keturunan  dan  syarat  akan praktik   nepotisme   kebijakan.

Mengingat secara yuridis putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa dibatalkan, mungkin mekanisme yang dilakukan untuk bisa mencegah politik dinasti semakin menjamur akibat putusan MK adalah penggunaan hak angket oleh DPR. Namun, penyelidikan melalui penggunaan hak angket pun tidak merubah keputusan apapun dan hanya sebatas bisa menentukan apakah hakim dalam hal ini bersalah atau tidak.

Untuk upaya preventif jangka panjang, mekanisme rekrutmen dalam partai politik harus dibenahi. Ini bisa dilakukan dengan merubah atau memperbaiki UU Partai Politik. Dengan melakukan hal ini, harapannya partai bisa mempersiapkan kader terbaik mereka jauh-jauh hari, tanpa kemudian harus memilih kader yang memiliki hubungan keluarga dan kekerabatan dengan pejabat tertentu.

 

Felia Primaresti

Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute

felia@theindonesianinstitute.com

Komentar