Indonesia menjadi negara yang paling banyak meminta penghapusan konten di Google. Hal ini terbukti dalam Content Removal Transparency Report yang dirilis oleh Google. Dalam laporan tersebut, terungkap daftar negara yang mengajukan permintaan untuk menghapus konten dari Google selama periode bulan Januari hingga Juni 2021. Indonesia sendiri berada di urutan pertama dalam kategori negara dengan permintaan penghapusan konten tertinggi berdasarkan jumlah item. Google mencatat lebih dari lima ratus ribu URL diminta untuk dihapus oleh Pemerintah Indonesia. Dari keseluruhan permintaan, Google telah menghapus dua puluh ribu URL dan sedang meninjau sisanya (kompas.com, 25/10/2021).
Salah satu faktor yang membuat tingginya angka permintaan untuk menghapus konten di Google adalah regulasi hukum yang berlaku di Indonesia. Salah satu aturan hukum yang secara spesifik mengatur tentang aktivitas dan konten di ruang digital adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, tidak terdapat ketentuan tentang kewenangan pemerintah untuk melakukan moderasi hingga memiliki kewajiban untuk meminta dilakukannya penghapusan terhadap suatu konten tertentu.
Hal berbeda dapat kita temukan dalam Pasal 26 (3) UU ITE pasca perubahan. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Secara jelas pasal a quo menegaskan bahwa terdapat mekanisme –hingga penetapan pengadilan—untuk dapat melakukan penghapusan suatu konten tertentu yang terdapat di ruang digital.
Mekanisme penghapusan konten seperti informasi elektronik maupun dokumen elektronik merupakan sebuah langkah yang dibuat untuk memberikan perlindungan atas hak masyarakat dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat di ruang digital. Ketika pemerintah secara aktif melakukan permintaan untuk melakukan penghapusan konten tertentu kepada platform digital, maka terdapat potensi munculnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh pemerintah.
Tingginya angka moderasi konten oleh pemerintah Indonesia sesungguhnya bukan diakibatkan oleh keberadaan UU ITE. Namun, dasar berpijak pemerintah untuk melakukan moderasi konten dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat).
Moderasi Konten melalui Permenkominfo No. 5 Tahun 2020
Menelisik lebih jauh beberapa aturan dan ketentuan yang terdapat dalam Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat, maka kita dapat mengatakan bahwa regulasi ini membahayakan kebebasan berekspresi di Indonesia. Contohnya adalah Pasal 9 ayat (4) Permenkominfo a quo yang memberikan larangan terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan klasifikasi: a) melanggar ketentuan peraturan perundangundangan; b) meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan c) memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.
Frasa yang terdapat pada huruf b pasal a quo dapat ditafsirkan secara bebas oleh masyarakat hingga penegak hukum agar dapat dilakukan pemutusan akses (take down) terhadap suatu konten tertentu di ruang digital. Tidak ada tolok ukur yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa suatu konten meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Padahal, ketika sebuah ketentuan hukum memberikan sebuah sanksi yang dapat melanggar hak masyarakat, dalam hal ini, adalah hak atas kebebasan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh konstitusi, maka harus terdapat suatu variabel jelas dan dapat dibuktikan di hadapan hukum.
Pasal bermasalah lainnya dalam Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat terdapat pada Pasal 14 yang menjadikan lembaga peradilan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan untuk melakukan pemutusan akses. Padahal, lembaga peradilan seharusnya merupakan sebuah lembaga negara yang berdasarkan putusan dengan pelbagai pertimbangan hukum dapat menjatuhkan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menjadi sebuah kekeliruan juga menempatkan lembaga peradilan sebagai pihak yang memohon untuk melakukan pemutusan akses bersama dengan masyarakat, kementerian atau lembaga, dan aparat penegak hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka Kementerian Komunikasi dan Informatika harus melakukan evaluasi secara menyeluruh–dari sisi formil hingga materiil—terhadap Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat. Selain mengancam kebebasan berekspresi mayarakat di ruang digital, Permenkominfo a quo juga memiliki persoalan dalam subtansi hingga logika hukum. Bahkan, berdasarkan temuan pasal bermasalah pada penjelasan sebelumnya, maka Permenkominfo ini layak untuk dicabut.
Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum
hemi@theindonesianinstitute.com