
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.
Kemana lagi rakyat harus mencari keadilan, jika para Penegak Hukum justru menjadi mafia hukum, makelar kasus dan mafia peradilan?
Beberapa waktu lalu bahkan hingga hari ini media diramaikan oleh pemberitaan ditangkapnya pengacara ‘gaek’ Otto Cornelius (OC) Kaligis atas dugaan kasus suap terhadap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Ditangkapnya OC Kaligis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan Juli 2015 ini menambah daftar panjang jajaran pengacara yang terlibat dalam kasus korupsi.
Pada tahun 2014 misalnya, Pengacara Susi Tur Andayani menjadi perantara suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar, dalam sejumlah kasus pilkada. Ia kemudian divonis 7 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) dalam sidang kasasi. Kemudian pada tahun 2013, Pengacara Mario C. Bernando, terpidana kasus pemberian uang atau suap ditingkat kasasi kepada pegawai MA, Djody Supratman. Ia divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp. 200 Juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selanjutnya Haposan Hutagalung pada tahun 2011 terlibat dalam mafia kasus atau makelar kasus Gayus Halomoan Tambunan, serta suap kepada pejabat di Bareskrim Polri. Haposan kemudian divonis 12 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp. 500 Juta oleh MA. Di samping itu masih ada 5 (lima) pengacara yang melakukan tindak pidana korupsi dalam bentuk suap-menyuap dan telah dijatuhi pidana penjara, di antaranya, Adner Sirait, Tengku Syafiuddin Popon, Lambertus Palang Ama dan Manatap Ambarita (republika.co.id, 23 Juli 2015)
Sementara pengacara yang masih berstatus tersangka kasus suap serta masih menjalani proses penyidikan dan ditahan oleh KPK adalah OC Kaligis dan Yagari Bhastara Guntur. Yagari Bhastara Guntur, biasa dipanggil Gerry, merupakan pihak yang terlibat dalam kasus OC Kaligis. Gerry tertangkap tangan tengah memberikan sejumlah uang kepada hakim PTUN Medan pada hari Kamis, 9 Juli 2015. Berdasarkan pengakuan dari Gerry inilah diketahui keterlibatan OC Kaligis dalam kasus suap Hakim PTUN Medan (news.detik.com, 24 Juli 2015).
Tidak hanya hakim, jaksa dan polisi, selaku penegak hukum yang terlibat kasus korupsi, tetapi juga pengacara sebagai penasehat hukum terlibat korupsi. Bukan sekedar mafia hukum, tetapi makelar kasus dan mafia peradilan seolah-olah bersinergi dalam rangka memperjualbelikan keadilan. Lalu bagaimana kabar penegakan hukum kita?
Menurut Drs. M. Sofyan Lubis, SH, Mafia Hukum lebih dimaksudkan dalam proses pembuatan undang-undang. Dalam hal ini pembuat undang-undang membuat undang-undang lebih sarat nuansa politis sempit dan lebih berorientasi pada kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Sementara Makelar Kasus membuat proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan cara memberi suap berupa imbalan tertentu. Sehingga perbuatan mereka sangat merugikan pihak pencari keadilan. Makelar Kasus ini bisa dilakukan baik oleh penegak hukum maupun penasehat hukum atau pengacara. Sedangkan Mafia Peradilan lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana sistem dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan.
Berdasarkan pendapat tersebut, tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa hukum dan keadilan telah menjadi barang mahal di negeri ini. Secara implisit “hukum dan keadilan” saat ini telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Keadilan dan kepastian hukum seolah-olah tidak bisa diberikan secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Di negeri ini, meminjam argumentasi Drs. M. Sofyan Lubis, SH, law enforcement atau penegakan hukum diibaratkan bagai menegakkan benang basah dengan kata lain “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Salah satu yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah berkembangnya “budaya korupsi”. Ibarat wabah yang berkembang dengan cara membelah diri, korupsi telah menyebar keseluruh lapisan birokrasi dan stratifikasi sosial termasuk di dalamnya penegak hukum dan penasehat hukum. Nampaknya menegakkan hukum di Indonesia hanyalah sebuah retorika yang berisi sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Namun demikian, atas nama rakyat, penegakan hukum tetap harus diperjuangkan. Meskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia memprihatinkan, tetapi hal tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk kita bersikap pesimis. Oleh karenanya Penulis menawarkan langkah strategis yang dapat dilakukan untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.
Apabila didasarkan pada teori legal system, Laurence Meil Fredman menyatakan bahwa memperbaiki penegakan hukum dan memberantas budaya korupsi dapat dilakukan melalui pendekatan sistem hukum. Dalam pendekatan sistem hukum ada 3 (tiga) komponen utama yang menjadi pilar tercapainya tujuan hukum (keadilan, kepastian, kemanfaatan) diantaranya: struktur hukum (aparat penegak hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan), Kultur hukum (budaya sadar hukum masyarakat).
Pertama, dengan memperbaiki komponen struktur hukum yakni aparat penegak hukum. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yakni para penegak hukum, baik dari segi moralitas dan intelektualitas merupakan satu pilihan pasti. Hal itu dikarenakan tidak sedikit penegak hukum yang ada saat ini tidak sadar dan paham betul persoalan idealisme hukum yang sedang ditegakkannya. Selain itu perlu optimalisasi lembaga-lembaga independen yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap penegak hukum, di antaranya Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan. Lembaga-lembaga tersebut disarankan memiliki anggota yang bukan terdiri dari hakim aktif, jaksa aktif, atau polisi aktif tetapi diambil dari unsur-unsur masyarakat yang berkualitas atau kompeten.
Kedua, melakukan pembaharuan hukum. Perlunya menyempurnakan, memperbaiki dan melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada. Misalnya menyempurnakan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Peraturan tentang Kode Etik Advokat. Mengingat advokat sebagai penasehat hukum sangat rentan terlibat kasus korupsi dalam bentuk suap-menyuap dan akhirnya menjadi makelar kasus, maka diperlukan pengawasan dan sanksi yang tegas. Misalnya dengan mencabut hak untuk beracara bagi advokat yang pernah terlibat kasus korupsi.
Ketiga, meningkatkan budaya kritis masyarakat. Sesungguhnya kondisi yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas terhadap masalah besar ini, yakni penegakan hukum yang lemah akibat budaya korupsi, telah tersedia. Salah satunya adalah tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi tabu untuk mengungkap penyelewengan atau Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Masyarakat harus semakin tergugah untuk menuntut keadilan, kebenaran, dan pemerintahan yang bersih.
Namun, langkah-langkah tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan tanpa sebuah komitmen atau tekad untuk membangun sistem penegakan hukum yang bertanggung jawab dari semua pihak. Tekad ini harus dimiliki dan ditumbuhkan terlebih oleh 4 (empat) unsur penegak hukum yaitu hakim, jaksa, polisi dan advokat.
Harapan penulis para pejabat, politisi, penegak hukum dan juga masyarakat memiliki ruang hati dan waktu untuk merenungi sindiran dan segala bentuk strategi untuk memperbaiki penagakan hukum kita. Sebab apabila tidak ada komitmen dan tekad bersama dari semua pihak, tentu penegakan hukum yang baik hanya akan ada di Republik Mimpi.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com