Tidak ada yang tahu pasti, apa yang persisnya menjadi tujuan kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia pada tanggal 10 November lalu. Seorang tokoh agamis yang sempat diketahui mentereng akibat pengaruhnya dalam berbagai peristiwa politik yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Boleh jadi, memang karena murni urusan pribadi. Seperti yang sebagaimana diterangkan dalam beberapa keterangan juru bicaranya, yakni untuk menikahkan putri keempatnya. Bisa juga, mungkin karena alasan keimigrasian yang overstay. Seperti yang sebagaimana dijelaskan oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi, bahwa visa Rizieq tidak diperpanjang oleh Pemerintah Arab Saudi dan diberikan izin tinggal paling lama sampai tanggal 11 November 2020 (nasional.tempo.co, 5/11).
Alasan lainnya, mungkin saja untuk menjalankan tujuan dan agenda politik tertentu. Namun, mari kesampingkan dulu setiap kemungkinan itu. Sebab dibalik peristiwa yang mengekori kedatangannya itu, terdapat satu fakta menarik yang tidak kalah menarik untuk dicermati. Yakni, terbengkalainya seketika isu penolakan terhadap omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Dalam berbagai pemberitaan media dan pembicaraan publik, isu ini dapat diperhatikan perlahan memudar. Pemerintah dan pejabat negara lainnya, lebih memilih untuk disibukkan dengan kegaduhan Rizieq yang tengah memancing kerumunan massa di situasi pagebluk, dibanding merespon dan menanggapi deru penolakan masyarakat yang sudah sedemikian lama dilayangkan terhadap pemberlakuan Cipta Kerja beserta deretan legislasi bermasalah lainnya.
Apalagi, jika memperhatikan tren apologi pemerintah yang akhir-akhir ini gencar menepis fakta-fakta betapa problematisnya legislasi itu dari sisi ilmu hukum, lingkungan maupun ketenagakerjaan. Dengan iming-iming pertumbuhan ekonomi, Pemerintah dan beberapa pemangku kepentingan terkait dapat diperhatikan tidak henti-hentinya melakukan mistifikasi dan mengumbar narasi-narasi positif nan semu.
Hal ini tentu mengenyampingkan gambaran utuh yang sebenarnya kerap dipermasalahkan oleh sebagian besar akademisi, serikat buruh, pegiat lingkungan, serta kelompok masyarakat lainnya. Bahwa ada asas keterbukaan yang hilang dari proses pembahasannya. Belum lagi jika melihat konflik kepentingan antar segelintir pembentuknya yang begitu kental menyelubungi sebagian besar substansi pengaturannya.
Dalam beberapa laporan serta kajian sekelompok aliansi masyarakat sipil, hal ini tentunya sudah sedemikian banyak diterangkan dan dikupas secara tuntas. Bahwa terdapat keterkaitan kepentingan yang sangat nyata dari para pembentuk UU Cipta Kerja, yang selain sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha tambang, batu bara atau energi kotor lainnya, juga teridentifikasi pernah terlibat dalam mengisi peran strategis dalam tim kampanye atau pemenangan Jokowi-Amin di masa pilpres kemarin.
Salah satunya, seperti yang sebagaimana penulis tuangkan dalam laporan akhir tahun The Indonesian Institute atau Indonesia Report 2020, yang akan dirilis akhir tahun nanti dengan tajuk “Menilik Kuasa Oligark dalam Pembentukan Legislasi Periode Ke-II Pemerintahan Joko Widodo.” Untuk itu, reformasi birokrasi dan hukum, dan pertumbuhan ekonomi, mungkin adalah satu hal yang baik dari isi UU Cipta Kerja. Namun di sisi lain, ialah Undang-Undang ini banyak menyembunyikan kepentingan segelintir oligark, dan mengenyampingkan berbagai aspek fundamental lainnya.
Demikian, narasi terhadap penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja beserta fakta-fakta pembentukan dibelakangnya perlu untuk terus diawasi dan digaungkan. Termasuk dengan menolak dan mencegah setiap upaya yang diarahkan untuk mengalihkan isu ini. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, jikalau bangsa ini memang cepat lupa dan mudah di’ninabobo’kan.
Muhammad Aulia Y Guzasiah
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute
auliaan@theindonesianinstitute.com