Berdasarkan laporan tahunan Amnesty Internasional mengenai situasi HAM di dunia, sepanjang 2017 praktik politik dengan menggunakan ujaran kebencian meningkat di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan pelanggaran-pelanggaran HAM.
Pengertian ujaran kebencian memiliki beragam definisi dari berbagai sumber. Secara umum, ujaran kebencian dapat diartikan sebagai prasangka aktif atau prasangka yang dimunculkan dalam ruang publik melalui sarana orasi kampanye, spanduk/pamflet, khotbah/ceramah agama, jejaring media sosial, dan orasi dalam demonstrasi yang telah menyerang hal-hal primordial, yakni suku, agama, aliran keyakinan/kepercayaan, ras, dan antar golongan (Syahayani, 2015).
Menurut Amnesty Internasional, di Indonesia praktik politik dengan menggunakan ujaran kebencian dilakukan melalui sejumlah isu. Isu pertama yaitu tuduhan adanya kebangkitan PKI. Kedua, ujaran kebencian berbasis sentimen agama, yang mulai menguat sejak Pilkada DKI 2017. Selain itu, Amnesty Internasional Indonesia juga memprediksi, ujaran kebencian masih akan terjadi pada 2018-2019. Seperti diketahui, pada tahun 2018 akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah. Sementara pada tahun 2019 akan digelar Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden dan wakil Presiden (Pilpres) (Kompas.com, 22/2). Sependapat dengan prediksi tersebut, penulis menilai, semakin dekat dengan agenda kontestasi politik, maka ujaran kebencian akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan ujaran kebencian digunakan menjadi salah satu strategi kampanye untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik.
Ujaran kebencian dan tindak intoleransi hangat pertama kali terjadi di Pemilu Presiden 2014. Beberapa contohnya seperti iklan yang berjudul ‘rest in peace’ Jokowi. Dalam iklan tersebut, Jokowi dikatakan telah meninggal dunia pada 4 Mei 2014 pukul 15.30 WIB. Sang pembuat iklan juga menuliskan nama Ir. Hambertus Joko Widodo dan Oey Hong Liong. Selain itu adanya isu yang menyebutkan Prabowo Subianto memiliki gangguan kejiwaan atau psikopat.
Ujaran kebencian kemudian semakin marak selama Pilkada DKI Jakarta 2017 silam. Berawal dari kasus tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Petahana Basuki Tjahja Purnama (alias Ahok), yang mendorong meningkatnya ujaran kebencian yang mengaitkan isu SARA selama pernyelenggaraan Pilkada DKI 2017. Bahkan akibat kejadian tersebut, dalam Indeks Demokrasi 2017 versi Economist Intelligence Unit, telah menyebabkan posisi Indonesia merosot 20 peringkat dari 48 ke 68 (dw.com, 2/2).
Padahal di dalam Pasal 69 b, Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota dan Pasal 280 c, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, dikatakan bahwa kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain.
Menurut penulis, penggunaan ujaran kebencian dalam kampanye, akan merugikan pemilih. Seperti yang telah kita ketahui bersama, kampanye merupakan kegiatan penting yang dilakukan dalam ajang konstetasi politik. Mengutip Pfau dan Parrot (dalam Gun Gun Heryanto, 2013) tujuan kampanye adalah mempengaruhi khalayak sasaran yang ditetapkan. Selain untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih pasangan calon, kampanye juga merupakan salah satu sarana dalam pendidikan politik masyarakat.
Oleh karena itu menurut penulis, pertama, sangat penting untuk disadari oleh para calon kepala daerah maupun partai peserta Pemilu 2019, untuk menciptakan kampanye yang mendidik. Kampanye yang mendidik yakni kampanye yang menekankan pada pertarungan gagasan dari para kontestan, bukan malah membangkitkan sentimen kebencian. Perdebatan gagasan di ranah publik bertujuan untuk menghasilkan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi. Oleh karena itu, kampanye sudah seharusnya dilakukan sebagai upaya pendidikan politik masyarakat guna membentuk tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan menghargai keberagaman.
Kedua, penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu bekerjasama dengan Polri harus bersikap tegas menjatuhkan hukuman bagi pasangan calon, partai politik, tim sukses maupun tim relawan pendukung yang terindikasi melakukan ujaran kebencian dalam kampanyenya.
Ketiga, mendorong Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memperkuat koordinasi lembaga terkait dalam rangka pengawasan secara ketat penyebar ucapan kebencian melalui media sosial. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan memantau akun-akun di media sosial yang menyebarkan ucapan kebencian. Jika terbukti secara hukum bahwa akun-akun tersebut menyebabkan dampak negatif dan jatuhnya korban, maka BSSN bersama aparat penegak hukum terkait harus menindaklanjuti lewat proses hukum yang transparan, akuntabel, dan tegas, dengan tetap melindungi prinsip kebebasan berekspresi setiap warga negara.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com