Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 24 Desember 2024, mengumumkan penetapan tersangka Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto dalam kasus suap yang menjerat eks Calon Legislatif PDI-P 2019, Harun Masiku. KPK mengungkapkan ada bukti peran Hasto pada kasus yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022, Wahyu Setiawan dan mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustiani Tio F. Hasto dijerat dengan dua kasus yakni suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Terseretnya Hasto dalam kasus Harun Masiku memberikan peringatan bahwa negeri ini sedang berada dalam darurat korupsi politik dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Ada beberapa alasan kenapa kasus ini dikatakan sebagai peringatan darurat korupsi politik dalam sistem demokrasi di Indonesia. Alasan pertama, karena tersangka korupsi merupakan pejabat politik. Hal ini mengacu pada definisi korupsi politik yang diartikan sebagai korupsi yang dilakukan oleh orang atau pihak yang memiliki posisi politik (Alkostar, 2007). Amundsen (1999) mengatakan bahwa korupsi politik terjadi ketika pejabat politik menggunakan kekuatan politik yang dimiliki untuk mempertahankan kekuasaan, serta status dan kekayaan mereka. Pejabat politik tersebut secara sistematis menyalahgunakan hukum dan peraturan lainnya, menghindarinya, mengabaikannya, atau bahkan menyesuaikannya dengan kepentingan mereka.
Dalam kasus Harun Masiku yang menyeret nama Hasto, praktik korupsi politik dilakukan dengan bentuk penyuapan. Penyuapan itu sendiri didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dengan imbalan keuntungan pribadi. Penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, pertama, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk mempercepat prosedur yang sesuai dengan hukum. Kedua, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk mempercepat prosedur yang bertentangan dengan hukum (Aktan, 2015).
Berdasarkan pendapat tersebut, maka sesungguhnya korupsi politik dalam kasus ini yakni terjadinya penggunaan pengaruh kekuasaan pejabat politik yang bertentangan dengan hukum guna memperoleh keuntungan pribadi. Bahkan, Hasto sebagai pejabat tinggi suatu partai politik mencoba mengingkari hasil pemilu yang notabene merupakan bagian dari sistem demokrasi.
Kasus ini pun menambah catatan buram terkait korupsi yang melibatkan pejabat politik dalam sistem demokrasi kita saat ini. Walaupun, jika mengutip pendapat Ilmuwan Politik dari Yale University, Susan Rose-Ackerman (1999), bahwa sesungguhnya demokrasi dengan sistem pemilu tidak selalu menjadi obat bagi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, praktik pemilu lebih rentan terhadap pengaruh kepentingan khusus beberapa kelompok yang ada menggunakan kekuasaan mereka untuk melakukan korupsi. Pilihan taktik kelompok lainnya adalah mempengaruhi sistem politik.
Di semua negara demokrasi, idealnya pemilu yang kompetitif akan membantu untuk membatasi korupsi karena kandidat oposisi memiliki insentif untuk mengekspos petahana yang korup. Namun, kebutuhan untuk memenangkan suara, mendorong politisi untuk mengeluarkan biaya kampanye yang lebih tinggi dengan mengalokasikan uangnya untuk memberikan uang kepada pemilih. Praktik politik uang inilah yang kemudian memberikan kontribusi terhadap rusaknya sistem demokrasi (Rose-Ackerman, 1999).
Berdasarkan pendapat di atas, maka permasalahan korupsi politik harus dilihat dari hulu ke hilir, bukan hanya dari persoalan tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat politik, tetapi seharusnya juga melihat bagaimana pejabat politik itu dilahirkan dari sistem politik yang ada. Misalnya, dari kondisi partai politik hingga pengaturan pemilu. Jika mengacu pada pernyataan di atas, maka paling awal yang perlu dilakukan adalah dengan mendorong reformasi partai politik di Indonesia. Berdasarkan studi The Indonesian Institute (TII) tentang “Mendorong Reformasi Kelembagaan Partai Politik untuk Menjadi Inklusif, Relevan, dan Responsif” (2021), salah satu cara untuk mereformasi partai politik adalah dengan memperbaiki mekanisme rekrutmen untuk jabatan politik.
Dalam Studi TII menyebutkan bahwa rekrutmen politik harus mengedepankan sistem meritokrasi, kesetaraan gender, dan keterwakilan, daripada hanya memenuhi kepentingan kekerabatan atau kelompok atau golongan, serta pertimbangan favoritisme yang selama ini sering diterapkan untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata. Melalui proses yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, diharapkan rekrutmen politik dapat benar-benar berjalan secara demokratis dengan dukungan kader yang berintegritas, berkomitmen, dan memiliki kompetensi. Selain itu, diperlukan juga penguatan pengaturan tentang pelaporan dana kampanye sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik, khususnya dalam kampanye (TII, 2021).
Berdasarkan studi tersebut, maka sangat penting bagi partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mereformasi diri agar mencegah terjadinya korupsi politik dalam sistem yang demokratis. Kegagalan partai politik untuk berbenah diri akan berimbas pada kualitas demokrasi dan pemerintahan, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Namun, jika partai politik berhasil melakukan reformasi, maka hal ini akan berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi dan pemerintahan yang hadir untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, sudah selayaknya reformasi partai politik menjadi agenda utama demi memperkuat demokrasi dan menjaganya dari praktik korupsi politik di Indonesia.
Reformasi partai politik memang tidak langsung dan serta merta menghilangkan peluang korupsi politik, tetapi upaya dari hulu ini menjadi sebuah pintu masuk untuk menekan terjadinya peluang korupsi politik di tingkat hilir. Kembali mengutip Ackerman (1999) yang mengatakan demokrasi bukanlah obat untuk korupsi, tetapi struktur demokrasi dapat menyediakan kondisi yang dibutuhkan agar kebijakan anti korupsi berhasil.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com