Kinerja perekonomian global yang kian anomali kembali berdampak pada aktivitas ekonomi di tanah air. Sejak akhir tahun 2015, Indonesia kembali dihadang oleh ancaman krisis global akibat jatuhnya nilai tukar rupiah secara mendalam. Kondisi ini utamanya disebabkan oleh spekulasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate di Amerika Serikat juga devaluasi mata uang Yen yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok.
Industri dalam negeri akhirnya terkena imbas dari aktivitas global yang demikian adanya. Industri yang sejatinya mampu menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi, kini kinerjanya semakin merosot. Banyak pihak yang kemudian berkesimpulan bahwa Indonesia saat ini sedang dirudung oleh permasalahan deindustrialisasi. Kondisi seperti ini tentu memerlukan perhatian pemerintah agar efek yang ditimbulkan tidak semakin katastropik dan membuat masyarakat kian gusar.
Deindustrialisasi kurang lebih dapat dianggap sebagai negasi dari industrialisasi, yaitu penurunan peranan sektor industri manufaktur baik dalam kontribusi jumlah output maupun kontribusi jumlah pekerja dalam sebuah perekonomian. Blackeby (1979) dalam Jalilian dan Weiss (2000) menyebutkan bahwa pengertian deindustrialisasi adalah penurunan nilai tambah sektor manufaktur atau penurunan kontribusi sektor manufaktur dalam pendapatan nasional.
Kondisi penurunan nilai tambah industri dalam perekonomian tentu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah dan otoritas terkait perlu segara menjawab tantangan ini demi muwujudkan iklim ekonomi yang kembali kondusif. Akhirnya, atas desakan situasi yang semakin sulit, pemerintah dan Bank Indonesia selaku pemegang kebijakan moneter mengerluarkan serangkaian kebijakan stabilisasi. Kebijakan ini kemudian dikenal luas sebagai Paket Kebijakan Ekonomi.
Hingga November 2016, sudah sebanyak 13 jilid paket kebijakan yang diluncurkan. Kebijakan tersebut hampir menyasar seluruh sektor yang menjadi roda penggerak perekonomian, termasuk industri di dalamnya. Kini berarti sudah lebih dari satu tahun paket kebijakan ekonomi diluncurkan. Akan tetapi, apakah industri dalam negeri benar-benar mampu bangkit dan kembali berkontribusi pada kinerja perekonomian tanah air?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan terutama makanan dan minuman hanya mampu tumbuh sebesar 7,55% (YoY) di triwulan pertama 2016. Pertumbuhan yang ada terlihat masih di bawah capaian pertumbuhan yang di dua tahun terakhir, yang nilainya sebesar 8,49%. Hal senada juga terjadi pada industri karet dan plastik yang mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 7,60% (quarter to quarter) di triwulan pertama 2016. Industri kertas juga ikut merosot 1,32% (quarter to quarter) pada triwulan I-2016.
Hal ini kemudian timbul pertanyaan baru terkait agenda dirumuskannya paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan daya saing industri tanah air. Jika demikan, maka efektifitas dari diberlakukannya paket kebijakan ekonomi belum sepenuhnya bekerja dengan baik. Selain itu, agenda lainnya untuk mendorong sektor industri agar mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi tanah air juga masih menjadi pertanyaan kritis.
Data BPS menunjukan bahwa saat ini kontribusi industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terlihat menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa deindustrialisasi memang benar terjadi di Indonesia. Penurunannya terlihat jelas pada triwulan I-2016 dimana share industri hanya sebesar 20,8%, padahal di triwulan IV-2015 nilainya mampu mencapai 21,18%.
Institute for Development Economics and Finance (INDEF) mencatat bahwa rendahnya kinerja industri domestik setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Utamanya adalah penurunan skala produksi yang banyak dijumpai di industri skala besar dan sedang. Faktor lainnya adalah pelemahan komponen pendukung industri, seperti pengerjaan infrastruktur yang belum rampung, birokrasi perizinan yang berlarut-larut, biaya logistik yang masih mahal, hingga ketersediaan pasokan energi bagi industri.
Dengan demikian, penulis mencatat bahwa untuk memberikan perbaikan pada industri di tanah air setidaknya pemerintah perlu untuk melalukan beberapa hal. Pertama adalah status dari paket kebijakan ekonomi yang berfokus pada industri itu sendiri. Dokumen yang ada saat ini masih berstatus sebagai Instruksi Presiden semata. Belum ada tekanan yang lebih kuat bagi instansi terkait untuk mengakselerasi kinerja seperti halnya jika tertuang dalam Undang-Undang. Oleh karena itu menjadikan Inpres menjadi UU diharapkan agar tidak menjadi disinsentif bagi para pelaku industri atas pengerjaan infrastruktur yang tepat waktu.
Pemerataan biaya logistik yang ditimbulkan antar daerah juga patut untuk dijadikan perhatian. Hal ini tentu akan berdampak pula pada pemerataan pendapatan masyarakat Indonesia pada akhirnya. Juga, proyek pembangunan sumber energi bagi industri juga harus dapat diakselerasi. Perlu adanya kordinasi lintas sektor agar masalah klasik, seperti pengadaan lahan pembangunan dapat dipercepat.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com