Jakarta – Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Umi Lutfiah mengatakan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi batu sandungan empat tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
“Jika pemerintah masih saja enggan menaikkan besarnya iuran bulanan, maka tidak heran jika defisit yang dialami BPJS Kesehatan semakin lama semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta dari tahun ke tahun dan diperburuk dengan tunggakan iuran peserta mandiri,” kata Umi dalam keterangan tertulis, Selasa, 23 Oktober 2018.
Dalam laporan 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK, kata Umi, diketahui bahwa anggaran perlindungan sosial meningkat dari tahun ke tahun. Umi mengatakan peningkatan anggaran ini juga diimbangi dengan peningkatan cakupan kepesertaan dan jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) serta fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Menurut Umi dari segi cakupan kepesertaan memang meningkat, namun dari segi defisit yang dialami BPJS Kesehatan juga meningkat. Sampai saat ini, kata Umi defisit mencapai angka Rp 16.5 triliun, di mana pemerintah terus berupaya menekan defisit tersebut dengan berbagai cara.
Namun, kata Umi, sampai saat ini pemerintah belum mau menaikkan iuran bulanan peserta BPJS Kesehatan. Dia mengatakan saat ini peserta mandiri kelas I harus membayar Rp 80.000, kelas II Rp 51.000, dan kelas III Rp 25.500. Padahal, kata Umi, sejak 2015 lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah memberikan rekomendasi terkait besarnya iuran bulanan BPJS Kesehatan. Untuk peserta mandiri kelas I, DJSN merekomendasikan Rp 80.000, kelas II Rp 63.000, dan kelas III Rp 33.000.
“Fakta ini menunjukkan bahwa iuran BPJS yang saat ini belum sesuai dengan perhitungan iuran minimal yang sudah dihitung DJSN. Untuk kelas II saja memiliki margin Rp 12.000 dan Rp 7.500 untuk kelas III. Jika selisih ini dikalikan dengan jumlah peserta, sudah berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk menambal kekurangan iuran ini,” ujar Umi.
Lebih lanjut, Umi mengatakan penggunaan dana cukai rokok yang diandalkan untuk menambal defisit harus pula diimbangi dengan pelayanan promotif dan preventif. Jumlah orang sakit akan terus bertambah jika fokus pelayanan kesehatan negara kita hanya pada ranah penyembuhan/kuratif-rehabilitatif.
Selain itu, menurut dia, biaya yang harus dikeluarkan jelas lebih mahal jika dibandingkan dengan alokasi dana untuk program promotif-preventif.
“Ingat bahwa penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat seperti jantung dan stroke merupakan penyakit yang menyedot klaim BPJS Kesehatan terbanyak. Salah satu upaya menekan angka penyakit akibat gaya hidup adalah dengan gencar menggaungkan program promotif/preventif,” ujar Umi.
Sumber: Tempo.co.