Undang-undang Desa: Reposisi Peran Desa dalam Pembangunan

Setelah tujuh tahun, UU Desa akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada18 Desember 2013. Ini menjadi penanda mulainya babak baru dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan di desa.

Selama ini, ketiadaaan dana yang mencukupi merupakan masalah terbesar yang dihadapi desa untuk melaksanakan pembangunan di tingkat desa (www.budimansudjatmiko.net). Desa selama ini banyak bertumpu pada program-program pembangunan dari pemerintah pusat, karena tidak memiliki kemandirian yang cukup untuk mengurus dan melakukan pembangunan yang mereka butuhkan.

Sekjen Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) Tri Susatyo Handono mengatakan bahwa selama ini desa melakukan pembangunan dengan meminta dana dari pemerintah daerah maupun partai politik. Jika tidak mempunyai akses atau kedekatan dengan dua institusi tersebut, maka desa tidak mendapat dana yang dibutuhkan untuk pembangunan (Seputar Indonesia, 17/12/2013).

Tentu sulit bagi kebanyakan desa jika hanya mengandalkan dana dari swadaya/iuran masyarakat yang tidak seberapa. Hal ini malah menghambat pembangunan di desa, yang pada akhirnya membuat desa tidak mampu mandiri.  Lewat UU Desa, maka desa memiliki hak untuk mengelola kekayaan, aset, BUM Desa, dan pendapatan lain yang itu cukup untuk melaksanakan pembangunan yang dibutuhkan dan memberdayakan masyarakat.

Paradigma pembangunan pun berubah, kini desa menjadi subjek pembangunan, bukan lagi sekedar objek pembangunan. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya dari pusat namun beriringan, pembangunan dari atas dan dari bawah (desa).

Desa sekarang memiliki hak untuk menentukan apa yang dibutuhkan, namun sejalan dengan koridor pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini penting agar ada sinkronisasi dengan arah pembangunan. Desa tidak mungkin memiliki otonomi yang sangat luas untuk menentukan arah pembangunannya sendiri.

Setidaknya ada dua hal penting dalam UU Desa yaitu ketentuan gaji untuk kepala desa dan dana untuk desa yang akan diperoleh setiap tahun dengan  besaran yang bervariasi jumlahnya untuk setiap desa. Dua hal ini juga menarik karena menyangkut kebijakan alokasi dana yang diberikan kepada kepala desa sebagai bagian dari mandat UU Desa.

Sebelum UU ini disahkan, kepala desa tidak mendapatkan gaji tetap. Penghasilan yang diperoleh kepala desa berupa honor yang berbeda-beda tergantung pada kemampuan daerah setempat. Dalam Pasal 66 UU Desa disebutkan bahwa kepala desa dan perangkat desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan yang berasal dari APBD dan tunjangan yang bersumber pada dari APB Desa.

Selain itu, kepala desa dan perangkat desa juga mendapat jaminan kesehatan. Kepastian dalam penerimaan pendapatan tersebut merupakan bentuk penghargaan dan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan hidup kepada kepala desa dan perangkat desa.

Desa juga akan mendapat dana yang diperoleh dengan besaran kurang lebih satu miliar rupiah per tahun sebagai dana untuk menjalankan program pembangunan desa. Pasal 72 ayat 1 huruf c dalam UU Desa  menyebutkan tentang pendapatan desa yang berasal dari bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota minimal 10 persen.

Lebih jauh, di huruf d menyebutkan bahwa alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/Kota dalam APBD dikurangi DAU dengan besaran minimal 10 persen.

asrul-ibrahim-nurHal tersebut sempat memunculkan kekhawatiran akan korupsi yang dilakukan oleh kepala desa. Sebenarnya mekanisme yang berbeda terdapat dalam pengelolaan keuangan di desa dan di tingkat pusat.

Di tingkat pusat, lebih sulit untuk diawasi, karena pengelolaan keuangan tidak mungkin melibatkan masyarakat secara langsung. Sedangkan di desa, masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan keuangan, dari proses perencanaan, implementasi hingga evaluasi program (Pasal 80 dan 82 UU Desa).

Perlu dicermati pula bahwa posisi kepala desa dalam UU Desa menjadi sangat strategis dan sentral. Pada Pasal 26 UU Desa disebutkan bahwa kepala desa memiliki wewenang menyelenggarakan pemerintahan desa, menyusun APB Desa, menetapkan peraturan desa. Kepala desa berhak mengelola keuangan desa dan aset desa.

Namun, sisi akuntabilitas juga dikedepankan dengan adanya kewajiban kepala desa untuk memberikan laporan tahunan dan laporan akhir masa jabatan, serta pengawasan oleh BPD dan lembaga masyarakat.

Kemudian UU Desa juga mengatur tentang kekuasaan kepala desa yang juga harus diimbangi oleh BPD dan pengawasan oleh masyarakat. Masyarakat melalui Lembaga Kemasyarakatan, Institusi yang sudah ada seperti RT, RW, PKK, Karang Taruna, serta para tokoh masyarakat dapat memberikan masukan dalam perencanaan dan pengawasan.

UU Desa dapat menjadi titik balik dalam mengembalikan kemandirian desa dalam membangun dirinya secara mandiri. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melaksanakan dengan baik amanat dalam UU ini.

Jangan sampai UU ini digunakan oleh sebagian politisi atau partai politik untuk meraup dukungan dalam pemilu yang sebentar lagi akan digelar. Untuk itu, perlu pengawasan bersama, terutama oleh masyarakat desa setempat masyarakat sipil terkait pada umumnya.

Annas Syaroni, Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute, annas@theindonesianinstitute.com

Komentar