Tantangan Kebijakan Perlindungan Sosial Bagi Lanjut Usia

Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah warga lanjut usia 65 – 70 tahun pada tahun 2000 berjumlah 22,7 juta jiwa. Pada tahun 2020 diperkirakan jumlah tersebut akan meningkat menjadi 30,1 juta jiwa atau sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia (www.neliti.com, 2018).

Menurut  lndeks Global Age Watch, Indonesia berada di peringkat bawah lndeks Global Age Watch yaitu pada posisi ke-71. lndeks Global Age Watch ini memberikan peringkat kepada 96 negara berdasarkan kualitas hidup dan sosial serta status ekonomi  lansia yang berumur 60 tahun keatas. lndeks tersebut menggunakan empat indikator yang menyangkut kualitas hidup para lanjut usia, yaitu pendapatan yang menyangkut kondisi pensiun, status ekonomi lansia, GDP (Gross Domestic Product) setiap Negara, dan tingkat kemiskinan di usia lanjut (www.neliti.com, 2018).

Meningkatnya jumlah lansia di 2020 serta masih minimnya kualitas hidup lanjut usia, maka perlu dilakukan upaya maksimal diranah kebijakan yang dapat menjadi rujukan program lanjut usia yang tepat sasaran dan efektif. Berdasarkan data BPS, sebagian besar lansia hidup dengan anak-anak mereka, 80% tinggal di rumah tangga yang berpenghasilan kurang dari 50.000 rupiah per hari, dan sekitar 14% lansia perempuan tinggal sendiri. Atas kondisi ini, lansia bisa menjadi beban (keuangan) utama keluarga.

Perlindungan Sosial bagi Lansia

Umumnya skema perlindungan sosial di beberapa negara dilakukan melalui melalui transfer (uang) tunai. Program ini dilaksankaan  untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan. Pemberian  uang kepada orang yang berusia lanjut di beberapa negara telah mendukung para lanjut usia  untuk terlibat dalam angkatan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi di ekonomi lokal,  dan meningkatkan martabat serta kemandirian ekonomi bagi lansia itu sendiri (TNP2k.go.id, 23/05/2018).

Di Indonesia, skema perlindungan sosial untuk lansia masih sangat terbatas. Pegawai negeri dan mereka yang bekerja di sektor formal akan menerima uang pensiun dan jaminan kesehatan. Sayangnya, sebagian besar lanjut usia terutama mereka yang bekerja di sektor informal, yang hidup sendiri, dan  rentan terhadap kemiskinan di usia lanjut, tidak akan terjangkau dalam skema perlindungan sosial di Indonesia.  Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah mengembangkan dan mereformasi program dan kebijakan perlindungan sosial agar dapat menjangkau seluruh lansia.

Menurut data BPS di 2017, hanya 43 % rumah tangga lansia yang memiliki akses ke Program Subsidi Beras bagi Masyarakat Berpendapatan Rendah (Program Rastra), dan hanya  76 % lansia di katagori miskin dan termiskin yang memiliki akses Jaminan Kesehatan Nasional melalui program penerima Penerima Bantuan Iuran (PBI) (TNP2k.go.id, 23/05/2018).

Berdasarkan data BPS, perlu dilakukan terobosan untuk merumuskan kebijakan sosial dan program perlindungan sosial bagi lansia. Orang yang berusia lanjut  memiliki risiko khusus jatuh ke dalam kemiskinan, terutama mereka yang tidak mapan secara ekonomi. Kemungkinan mereka untuk menjadi disabilitas fisik dan mental juga sangat besar, dan hal tersebut bisa berpengaruh terhadap kapasitasnya untuk bekerja.

Saat ini, lebih dari separuh penduduk Indonesia yang berusia di atas 65 tahun mengalami ketidakmampuan atau keterbatasan fisik, dan mereka tidak memiliki jaminan penghasilan di usia tua (TNP2k.go.id, 23/05/2018).  Itu artinya, bertambahnya populasi lansia bisa berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat kemiskinan di kalangan lansia. Mengingat Indonesia akan menjadi masyarakat yang ‘menua’, tantangan yang ada saat ini harus diantisipasi. Pemerintah perlu menaruh perhatian besar terkait investasi dalam program perlindungan sosial bagi  lanjut usia.

Tinjau Ulang UU 13/1998

Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan pemerintah untuk menyusun program lansia.  UU 13/1998 ini di susun saat eforia reformasi meskipun pembahasannya sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Menurut sejumlah pengamat, isi undang-undang ini sudah tidak dapat mengikuti perkembangan jaman atau dianggap tidak bisa menjawab sejumlah persoalan lansia, salah satunya terkait perlindungan sosial.

Dalam Pasal 19 UU13/1998 memuat topik perlindungan sosial. Hal yang sangat membatasi dari isi pasal dimaksud adalah bahwa perlindungan sosial yang tertera hanya diperuntukan bagi lansia non-potensial. Ketentuan ini tentu harus dirubah sejalan dengan upaya mendorong peraturan perundang-undangan berbasis hak, artinya setiap orang yang berusia lanjut berhak mendapatkan perlindungan sosial.

Isu lainnya dari pasal 19 ini adalah tidak disebutkannya jenis-jenis perlindungan sosial yang wajib diterima para lanjut usia. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa pemerintah kurang serius untuk memberikan jaminan perlindungan sosial bagi lansia.

 

 

—Yossa Nainggolan —

Komentar