Tabir Maraknya Korupsi Kepala Daerah

Selama Bulan Ramadhan kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan empat kepala daerah. Keempat kepala daerah tersebut terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Keempat kepala daerah yang terjaring OTT tersebut ialah Bupati Buton Selatan, Bupati Purbalingga, Walikota Blitar dan Bupati Tulungagung. Mereka tertangkap OTT KPK saat diduga sedang menerima uang suap dari para kontraktor proyek infrastruktur di daerah masing-masing. Besaran uang suap yang gagal mereka terima pun beragam. Mulai dari 400 juta hingga 2,5 miliar (Republika.co.id/13/06).

Maraknya kepala daerah yang tertangkap korupsi dalam waktu yang hampir berdekatan tersebut tidak hanya menyisakan kepiluan di masyarakat. Akan tetapi juga membuka ruang kepada kita untuk merefleksikan lebih dalam atas penyelenggarakaan pemerintahan di daerah dan pelaksanaan Pilkada Serentak yang selama ini telah berlangsung. Dianggap memilukan karena OTT KPK yang menimpa empat kepala daerah tersebut menambah deretan kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah pada masa sebelumnya. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa sepanjang tahun 2004-2017, terdapat 313 kepala daerah yang terseret kasus korupsi dengan modus terbesarnya ialah penyuapan (Tribunnews.com, 11/12/2017).

Penyuapan memang menjadi modus korupsi paling banyak dilakukan karena modus ini tergololong paling mudah. Dengan memanfaatkan otoritas yang melekat pada jabatan yang dimilikinya, kepala daerah dapat menjanjikan jabatan ataupun proyek kepada swasta maupun bawahannya dengan imbalan suap seperti yang diinginkannya (Tempo.co, 14/02). Hal ini terkonfirmasi melalui survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia pada tahun 2017 menyebutkan bahwa sebanyak 17 persen pelaku usaha mengaku gagal mendapatkan keuntungan karena persaingan memberi suap (Okezone.com, 22/12/2017).

Banyaknya kepala daerah yang terseret kasus korupsi dalam waktu yang hampir berdekatan tersebut, salah satunya dikarenakan mereka membutuhkan biaya politik yang tinggi untuk pencalonannya kembali dalam Pilkada periode selanjutnya. Maka tidak heran jika beberapa waktu yang lalu, Ketua KPK, Agus Raharjo mengatakan bahwa terdapat 90 persen petahana yang berpotensi menjadi tersangka kasus korupsi (Detik.com, 06/03).

Pada Pilkada 2018 ini, sumber pendanaan yang dibutuhkan oleh kandidat kepala daerah memang sangat besar. Peneliti ICW Donal Fariz mengatakan bahwa mahar politik yang harus dibayarkan oleh kandidat kepada partai politik pada Pilkada 2018 ini sebesar 20-100 miliar rupiah. Angka tersebut berlaku baik di level kabupaten/kota ataupun provinsi (Mediaindonesia.com, 12/01). Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika menganggap jumlah mahar pada Pilkada 2018 bukan hanya yang paling besar tetapi juga ada kenaikan berkali-kali lipat dari besaran mahar di Pilkada sebelum-sebelumnya (Kompas.com, 12/01).

Besarnya mahar politik yang diminta oleh partai politik tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan partai politik untuk menyiapkan diri pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun depan. Selain itu, biaya politik selama masa kampanye juga sangat membutuhkan modal yang tinggi. Di sinilah partai politik tidak memainkan fungsinya dengan baik sebagai salah satu institusi demokrasi. Idealnya, mereka harus melakukan kaderisasi sekaligus seleksi politisi untuk dimenangkan dalam perebutan kursi jabatan publik. Dengan memenangkan kadernya, harapannya progam-progam khas partai tersebut dapat terimplementasikan melalui kebijakan publik. Tetapi yang terjadi, partai politik mereduksi perannya sebagai pedagang tiket kepada kandidat untuk memasuki arena kompetisi untuk menjadi kepala daerah.

Tidak mengherankan jika banyak kepala daerah yang ingin maju kembali dalam Pilkada selanjutnya memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan sumber pendanaan dari berbagai jalur. Termasuk jalur illegal dengan menerima suap dari para kontraktor yang mendapatkan proyek di wilayah otoritasnya.

Rekomendasi

Oleh karena itu untuk memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan pelaksanaan Pilkada, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Penulis merekomendasikan agar partai politik untuk segera melakukan pembenahan di internal mereka. Termasuk sistem kaderisasi, pendanaan, dan strategi kemenangan yang mampu menenkan biaya politik yang tinggi.

Selain itu, penulis juga mengajak kepada masyarakat secara luas untuk meningkatkan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya masing-masing. Partisipasi politik masyarakat jangan sampai hanya berhenti di bilik suara. Akan tetapi juga terus berjalan sampai pada proses perumusan dan pengawasan pelaksaan kebijakan publik. Salah satunya dapat dimulai dengan memaksimalkan kanal musrembang yang mengakomodasi proses perencanaan kebijakan publik secara partisipatif.

 

Fadel Basrianto, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute,

fadel@theindonesianinstitute.com

 

Komentar